Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina Hulu Energi (PHE) meminta waktu sebelum melepas delapan Wilayah Kerja (WK) gas batubara metana (Coal Bed Methane/CBM) yang selama ini dianggap tidak menguntungkan. Anak usaha PT Pertamina (Persero) itu mengaku kesulitan di dalam melepas bloknya tersebut.
Direktur Utama PHE Gunung Sardjono Hadi mengatakan, awalnya perusahaan mengira proses pelepasan delapan blok bakal lancar. Namun, mitra perusahaan di WK migas non-konvensional memaksa untuk meneruskan proyek tersebut. Sehingga, PHE membutuhkan waktu untuk bernegosiasi dengan mitra-mitranya dalam menggarap blok yang dimaksud.
Sebagai informasi, delapan blok CBM yang dilepas, antara lain Sangatta I yang bermitra dengan Sangatta West CBM Inc, Sangatta II yang bermitra dengan PT Visi Multi Artha, Tanjung Enim yang bemitra dengan PT Bukit Asam dan Arrow Energy Ltd. Australia, Muara Enim yang bermitra dengan PT Trisula CBM Energi, dan Muara Enim I yang bermitra dengan konsorsium KP SGH Batubara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan withdraw dari blok-blok tersebut, tetapi masalahnya ini tidak mudah. Kalau kami menjadi operator 100 persen kan gampang, tetapi kami memiliki mitra yang memaksa melakukan firm commitment. Kami minta waktu ke pemerintah untuk negosiasi lagi karena ini sesuatu yang baru, sehingga kami butuh arahan dan pencerahan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," ujarnya, Rabu (15/3).
Ia melanjutkan, mitra-mitra PHE sebelumnya telah menyarankan metode pengeboran yang lebih efisien untuk menggarap beberapa blok tersebut. Namun, perusahaan perlu mengkaji lagi teknik pengeboran tersebut. Pasalnya, bukan tidak mungkin teknik yang digunakan tak sesuai dengan standar pengeboran yang diterapkan sang induk usaha.
"Kalau lebih murah, ya lebih bagus. Tapi harus diuji dulu, apakah pengeborannya sesuai dengan standar yang kami berlakukan," tuturnya.
Jika memang teknik ini bisa dilakukan, perusahaan kemudian akan membandingkan nilainya dengan penalti yang perlu dibayar ke pemerintah karena tidak jadi meneruskan komitmen pengembangan lapangan migas non-konvensional. Jika memang nilai penalti lebih rendah, tentu saja perusahaan sudah siap melepas delapan blok gas CBM itu.
"Tetapi, kami masih perlu diskusi dengan pemerintah. Karena sistem pembayaran penaltinya pun masih belum jelas. Ini kan hal baru," terang Gunung.
Berangkat dari kasus ini, ia berharap, pemerintah bisa memberikan syarat dan ketentuan pengembangan lapangan gas non konvensional yang bisa memicu biaya lebih efisien. Apalagi, karakteristik lapangan CBM di Indonesia sangat kecil, yaitu hanya bisa menghasilkan gas 0,003 MMSCFD.
Angka ini jauh lebih rendah dibanding lapangan-lapangan CBM di Australia yang bisa menghasilan gas sebesar 0,3 hingga 0,5 MMSCFD. "Memang, komunitas CBM berharap ada perubahan syarat dan ketentuan, sehingga bisa terjadi cost reduction dan menarik minat investor," pungkasnya.
Sebagai informasi, PHE berpartisipasi di 14 WK blok CBM dan 2 WK migas non konvensional (MNK). Dari 14 blok CBM, 8 diantaranya dioperatori langsung oleh PHE.