Asosiasi Fintech: Aturan OJK Kadang Tak Sinkron

CNN Indonesia
Rabu, 22 Mar 2017 19:46 WIB
Asosiasi FinTech (Aftech) mendesak realisasi pembentukan departemen khusus fintech dalam organisasi OJK.
Asosiasi FinTech (Aftech) mendesak realisasi pembentukan departemen khusus fintech dalam organisasi OJK. (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi FinTech (Aftech) Indonesia mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih serius dalam membangun industri teknologi finansial (Fintech) khususnya yang bergerak dalam bidang pinjam meminjam atau peer to peer lending (P2P).

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia, Adrian Gunadi menyebut pelaku usaha Fintech mengharapkan realisasi komitmen regulator menyusul dikeluarkannya peraturan OJK Nomor 77/POJ.1/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi pada Desember 2016 lalu.

Adrian mengatakan sejak tiga bulan peraturan tersebut diluncurkan, Aftech menilai belum tampak perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan fintech yang mendapatkan izin usaha dari OJK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebaliknya, banyak perusahaan fintech yang menemui kesulitan dalam mendapatkan informasi yang jelas seputar teknis pendaftaran p2p lending di OJK.

"Situasi ini menyulitkan para pelaku usaha dan berimbas pada kinerja perusahaan, Padahal animo masyarakat terhadap bisnis fintech P2P lending sangat besar. Hal ini terbukti dari tingginya ekspektasi masyarakat untuk menggunakan layanan pinjam meminjam dari perusahaan fintech yang terlebih dahulu terdaftar di OJK," ujar Adrian, Rabu (22/3).

Pertumbuhan industri fintech skema P2P memang tengah bertumbuh dengan cepat di Indonesia, Aftech Indonesia memetakan sedikitnya terdapat 157 perusahaan start-up fintech yang beroperasi aktif di Indonesia. Namun dari jumlah tersebut belum ada satu pun yang memegang izin beroperasi dari OJK.

Per Maret 2017, baru tercatat 27 perusahaan fintech P2P lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha.

Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya hanya menerima tanda bukti terima pendaftaran saja tapi belum menerima surat keterangan mendaftar. Hal ini dinilai menjadi penghambat bagi pengahuan perizinan usaha selanjutnya.

Mayoritas perusahaan fintech yang melapor ke asosiasi menyebut, persoalan kewajiban aturan minimum permodalan hingga Rp2,5 miliar kerap menjadi batu sandungan perusahaan fintech untuk maju ke tahap perizinan.

Saat mendaftar, perusahaan fintech juga diwajibkan memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar bagi perusahaan fintech berbadan hukum perseroan maupun koperasi.

Adrian menyebut, asosiasi memaklumi proses pergantian pejabat OJK yang terjadi saat ini memberikan pengaruh signifikan terhadap proses implementasi POJK di industri fintech. Kendati demikian, ia optimistis keberlangsungan bisnis fintech di Indonesia tetap menjadi fokus OJK ke depannya.

"Saya yakin spirit dari tim Ketua OJK yang baru nanti fintech tetap dijadikan agenda utama," katanya.

Di samping itu, Ketua Bidang P2P Lending Aftech Indonesia, Reynold Wijaya mengatakan selain mendesak percepatan proses izin, Aftech Indonesia juga mendesak realisasi pembentukan departemen khusus fintech dalam organisasi OJK.

Departemen ini diharapkan bisa menjadi pintu koordinasi OJK dengan Kementerian dan Lembaga terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi sehubungan dengan bukti kesiapan operasional yang harus dipenuhi pelaku usaha seperti sertifikasi digital untuk tanda tangan elektronik serta tata cara pendaftaran perusahaan ke OJK.

"Kadang di OJK sendiri suka tidak sinkron ke beberapa divisi, banyak yang misalkan ingin mendaftarkan perusahaannya bingung mau daftar kemana," jelas Reynold.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER