Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, setengah dari rencana pembangunan megaproyek pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu megawatt (MW) kini tengah dalam proses realisasi.
Menurut data Kementerian ESDM per 10 Maret 2017, proyek pembangkit sebanyak 19.877 MW, atau 55,79 persen dari total kapasitas proyek sebesar 35.627 MW, telah memasuki proses perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA).
Dari angka tersebut, sebanyak 10.442 MW, atau 29 persen dari rencana kapasitas pembangkit, sedang dalam masa konstruksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat kondisi ini, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan bahwa masih terdapat 44 persen dari total kapasitas pembangkit, atau 15.750 MW, yang belum memasuki masa kontrak atau PPA.
Ia berharap, realisasi proyek ini bisa dipercepat oleh PT PLN (Persero) sehingga target kapasitas pembangkit terpasang di tahun 2019 sebesar 79,2 Gigawatt (GW) bisa tercapai.
"Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, setidaknya kami perlu menyediakan pembangkit dengan total kapasitas minimal 70 GW tahun 2019. PLN sendiri yakin bisa mencapai 79,2 GW sesuai Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), tapi menurut kami maksimal 70 GW," jelas Jonan di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (30/3).
Kendati demikian, ia berujar bahwa penyediaan tenaga listrik di Indonesia tak hanya sebatas membangun pembangkit saja. Hal tersebut, lanjutnya, perlu diimbangi dengan penyediaan tarif setrum yang terjangkau.
Maka dari itu, melalui revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 - 2026, pemerintah berupaya untuk mengoptimalkan pembangkit listrik yang dekat dengan sumber energi, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) kepala sumur (well head) agar Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik semakin turun.
Menurut Jonan, pergerakan BPP yang ideal harusnya terus menurun tiap tahunnya. Jika BPP nasional tercatat Rp983 per Kilowatt-Hour (KWh) pada tahun 2016, ia berharap angkanya bisa mencapai Rp970 per KWh di tahun ini.
"Jika kapasitas pembangkit sudah bertambah, maka konsumsi listrik per kapita bisa meningkat dan tarif menjadi lebih efisien," paparnya.
Meski demikian, realisasi pembangkit yang telah beroperasi (Commercial Operating Date/COD) dari proyek ini baru mencapai 639 MW hingga saat ini. Angka itu terbilang 1,79 persen dari total rencana kapasitas terpasang 35.627 MW.
Direktur Utama PLN Sofyan Basyir mengatakan, pembangkit yang telah beroperasi sejauh ini merupakan pembangkit-pembangkit kecil yang terletak sporadis di pulau-pulau terluar Indonesia. Maka dari itu, tak heran jika sebagian besar pembangkit yang telah masuk masa COD berasal dari porsi PLN.
"Yang COD itu seperti pembangkit untuk program kelistrikan bagi 50 desa, seperti yang telah diluncurkan pada upacara hari kemerdekaan setahun yang lalu. Memang, pembangkit itu bisa terealisasi cepat karena ukurannya juga kecil," ujarnya.
Ia juga mengatakan, adalah hal yang wajar jika pembangkit yang telah beroperasi dari proyek 35 ribu MW masih sedikit. Pasalnya, proyek-proyek pembangkit berskala besar setidaknya membutuhkan waktu yang lama untuk rampung.
Sofyan mencontohkan, satu proyek PLTU saja pembangunannya bisa memakan waktu tiga hingga empat tahun lamanya.
"Proses untuk realisasi cukup lama. Selain itu, terkadang, hambatan bukan terdapat di kami. Saya contohkan, untuk proses kewajiban pembiayaan (financial closing) pembangkit bisa memakan waktu hingga 1,5 tahun. Bukan karena kami, tapi karena lembaga pembiayaannya yang meminta banyak persyaratan," jelasnya.
Oleh karenanya, ia tidak setuju jika banyaknya kapasitas pembangkit yang sudah beroperasi dianggap sebagai indikator keberhasilan proyek 35 ribu MW saat ini. Apalagi, program ini juga baru berjalan dua tahun lamanya.
"Saya lebih suka jika keberhasilan 35 ribu MW, untuk saat ini, diukur dari tingkat kemajuannya (progress). Menurut kami, dilihat dari aspek perkembangannya, progress 35 ribu MW sudah mencapai 42 persen," pungkas Sofyan.