ANALISIS

Pungutan Pajak Apartemen Kosong Tambah Derita Emiten Properti

CNN Indonesia
Senin, 10 Apr 2017 09:00 WIB
BEI melansir, indeks sektor properti turun 3,03 persen ke level 494,914, setelah pemerintah berniat memungut pajak progresif apartemen tak berpenghuni.
BEI melansir, indeks sektor properti turun 3,03 persen ke level 494,914, setelah pemerintah berniat memungut pajak progresif apartemen tak berpenghuni. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan).
Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana pemerintah memungut pajak apartemen kosong membuat indeks sektor properti rontok sepanjang pekan lalu. Bahkan, menambah terpuruk kondisi industri properti yang sedang kurang darah pada kuartal I tahun ini.

Bursa Efek Indonesia (BEI) melansir, indeks sektor properti turun 3,03 persen ke level 494,914 dari sebelumnya, yaitu 510,358. Penurunan indeks tak terlepas dari rencana pemerintah mengenakan pajak progresif dari apartemen yang tidak disewakan, tak ditempati atau tidak laku terjual.

Pernyataan yang disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil pada pekan lalu tersebut disinyalir membuat emiten properti gerah, apalagi penjualan hunian bertingkat sedang lesu dalam dua tahun terakhir. Di sisi lain, pasokan apartemen malah berlimpah, khususnya untuk segmen kelas menengah ke atas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengacu data Lembaga konsultan properti Colliers International Indonesia, tahun ini diprediksi ada 35 ribu unit apartemen baru. Sedangkan, rata-rata penyerapan setiap tahunnya hanya 10 ribu unit.

Jangan heran, banyak pelaku pasar yang melakukan aksi jual terhadap beberapa saham emiten properti. Pasalnya, kalau wacana ini direalisasikan, maka biaya beban bakal berlipat-lipat karena beban pajak yang tinggi bagi pengembang di saat pertumbuhan pendapatan belum positif.

"Disini, saya melihat ada kesenjangan yang cukup tinggi, sehingga membuat pelaku pasar menjual saham properti," ujar Analis Oso Securities Riska Afriani kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (8/4).

Ia menilai, saham emiten properti kelas menengah ke atas akan lebih terkena dampak negatif dari rencana aturan tersebut dibandingkan dengan emiten yang membangun proyek properti untuk segmen kelas menengah dan kelas menengah ke bawah.

Adapun, beberapa emiten yang berkontribusi dalam penurunan indeks sektor properti di antaranya, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) yang melorot 3,45 persen. Kemudian, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) anjlok 11,33 persen, serta PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) turun 2,59 persen.

Selanjutnya, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) terkoreksi 1,66 persen, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), dan PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) masing-masing turun tipis, yakni 0,93 persen dan 0,68 persen.

Analis Erdhika Elit Sekuritas Taufan Yamin mengungkapkan, pungutan pajak terhadap apartemen kosong juga membuat masyarakat kelas menengah ke atas tak bergairah untuk belanja properti, khususnya apartemen. Hal ini dikarenakan masyarakat dengan segmen tersebut biasanya akan menyewakan kembali apartemen yang dibelinya.

"Kalau memang ini diberlakukan, mungkin tarif sewa apartemen akan diturunkan lagi untuk menarik penyewa. Supaya apartemen tidak kosong. Jadi, investasi apartemen tidak menarik lagi," jelas Taufan.

Di sisi lain, pelemahan kinerja keuangan emiten properti sepanjang tahun lalu masih menjadi sentimen negatif bagi pergerakan harga saham properti. Misalnya, laba bersih Summarecon Agung yang anjlok 63,59 persen menjadi Rp311,66 miliar dari 2015 lalu yang sebesar Rp855,18 miliar.

Selain itu, laba bersih Ciputra Development juga turun 32,41 persen menjadi Rp867,63 miliar. Sementara, emiten properti dengan kapitalisasi terbesar di BEI, yakni Bumi Serpong Damai, juga mengalami penurunan laba bersih hingga 15,96 persen.

"Jadi, pelemahan indeks ini juga imbas dari performa kinerja emiten properti yang kurang baik pada tahun lalu," ungkap Taufan.

Lebih lanjut ia menjelaskan, relaksasi yang diberikan pemerintah terkait penurunan suku bunga acuan menjadi 4,75 persen sejak tahun lalu nyatanya belum cukup kuat mendorong masyarakat untuk belanja properti. Bank kelihatannya masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) dan suku bunga kredit.

"Bank butuh waktu untuk menurunkan, menyesuaikan. Kemudian, persepsi pasar juga perlu waktu, tidak bisa langsung," katanya.
Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa


Loyo Hingga Kuartal III

Riska meramal, saham emiten berbasis properti masih akan berada di teritori negatif hingga kuartal III ini. Dengan kata lain, harga saham emiten properti baru bangkit (rebound) jelang penghujung tahun.

Hal ini dikarenakan belum ada sentimen positif yang dapat menggerakkan harga saham emiten properti. Terlebih lagi, dana amnesti pajak yang diharapkan mengalir ke sektor properti belum terlihat hingga program tersebut berakhir pada 31 Maret lalu.

Head of Advisory Jones Lang Lasalle (JLL) Vivin Harsanto menyebutkan, properti dengan segmen kelas menengah ke atas menjadi sasaran dari dana repatriasi amnesti pajak. Mengingat, peserta amnesti pajak yang melakukan repatriasi merupakan wajib pajak (WP) yang berpenghasilan tinggi.

"Tetapi, sampai sekarang kami belum melihat ada dampaknya," tutur Vivin.

Ditambah lagi, rencana pemerintah yang akan memungut pajak terhadap apartemen kosong, sehingga membuat pelaku pasar semakin khawatir. Pelaku pasar juga masih menunggu (wait and see) rilis kinerja keuangan emiten properti kuartal I 2017.

"Di tengah belum adanya sentimen positif yang dapat menggerakkan sektor properti, tapi muncul hal-hal yang bisa berpengaruh negatif terhadap kinerja emiten properti itu sendiri," papar Riska.

Taufan menerangkan, emiten yang patut diwaspadai dalam satu minggu ke depan, yakni Agung Podomoro Land dan PT Intiland Development Tbk (DILD). Ia menilai, dua emiten tersebut bergerak dalam segmen kelas menengah ke atas.

Berbeda dengan Pakuwon Jati yang juga memiliki banyak proyek dengan segmen kelas menengah ke atas, namun mayoritas proyek perusahaan berada di Surabaya. Menurut Taufan, kelas menengah ke atas di Surabaya masih terbilang jauh lebih baik ketimbang masyarakat kelas menengah ke atas di wilayah DKI Jakarta.

"Kelas menengah dan menengah ke atas lebih tumbuh di Surabaya. Jadi, Pakuwon Jati masih bagus karena properti kelas atas di sana tumbuh," pungkas Taufan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER