Wahyu Nuryanto
Wahyu Nuryanto
Praktisi pajak dan mantan fiskus yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, lembaga nirlaba yang fokus pada studi dan penelitian di bidang perpajakan.

Meninjau Rencana Pajak Progresif Lahan Kosong

Wahyu Nuryanto | CNN Indonesia
Minggu, 16 Apr 2017 16:30 WIB
Wajar jika pemerintah gerah dengan ulah spekulan tanah dengan mewacanakan pengenaan pajak progresif atas lahan menganggur atau idle.
Wajar jika pemerintah gerah dengan ulah spekulan tanah dengan mewacanakan pengenaan pajak progresif atas lahan menganggur atau idle. (Dok. Setpres/Cahyo)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada istilah yang populer di dunia bisnis yakni high risk high return, yang artinya semakin tinggi risiko investasi semakin tinggi potensi keuntungan yang bisa didapat. Namun, prinsip itu seolah dikecualikan untuk investasi berbasis lahan karena menjanjikan keuntungan yang sangat besar dengan sedikit risiko. Terlebih jika fungsinya ditingkatkan menjadi ruang usaha atau hunian.

Tanah atau lahan adalah instrumen investasi yang tidak bisa diproduksi atau dihasilkan sehingga ketersediaannya terbatas. Sementara itu, kebutuhan manusia akan lahan hunian atau ruang usaha semakin hari semakin meningkat. Faktor supply and demand yang tidak seimbang itu membuat harga tanah terus meroket, apalagi jika lokasinya strategis.

Kondisi ini kemudian merangsang investasi sekaligus spekulasi. Tujuan keduanya adalah sama-sama untuk meraup untung berlipat-lipat di tengah tren harga tanah yang meningkat. Bedanya, pembelian lahan dengan tujuan investasi telah menyiapkan rencana bisnis yang matang dan mempertimbangkan berbagai risiko yang terukur. Sementara penguasaan lahan dalam konteks spekulasi hanya didasarkan pada perburuan rente tanpa motif bisnis yang jelas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alhasil banyak lahan yang dimiliki oleh segelintir orang dan dibiarkan menganggur hanya untuk spekulasi. Di sisi lain, banyak masyarakat atau pelaku usaha yang kesulitan mendapatkan lahan dengan harga terjangkau untuk hunian atau ruang usaha.

Wajar jika pemerintah gerah dengan ulah spekulan tanah dengan mewacanakan pengenaan pajak progresif atas lahan menganggur atau idle. Meskipun, dibalik itu ada kepentingan pemerintah yang lebih besar, yakni demi menggenjot penerimaan negara.

Namun, tak mudah bagi Indonesia untuk bisa menerapkan pajak progresif atas lahan kosong. Pertama, keterbatasan jumlah tenaga penilai dan tingginya biaya penilaian lahan. Kedua,belum ada definisi dan kriteria yang jelas untuk menentukan lahan kosong.

Berdasarkan sampel kasus penerapan pajak lahan kosong di sejumlah negara, masing-masing otoritas memiliki perbedaan dalam menentukan, mengidentifikasi dan menetapkan prioritas lahan kosong. Misalnya, mulai dari menyusun biaya lahan kosong, memilih cara dan mekanismenya, serta menentukan siapa yang mendapatkan manfaat dari biaya.

Meninjau Rencana Pajak Progresif Lahan KosongIlustrasi tanah menganggur. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Salah satu contohnya adalah Ibu Kota Pennysylvania, Harrisburg, Amerika Serikat. Kota ini telah mengalami penurunan ekonomi dalam beberapa dekade. Kemudian pemerintah kota menerapkan pajak atas lahan kosong guna mendorong masyarakat untuk membangun gedung baru dan memelihara bangunan yang sudah ada.

Hasilnya, kebijakan ini mampu membalikan kondisi ekonomi dan mendorong reviltalisasi perkotaan. Adapun, dalam pelaksanaannya pemerintah kota Harrisburg telah membuat kebijakan dua tarif atau split-rate property tax, pajak lahan dibuat lebih tinggi dari pajak bangunan.

Kasus lainnya terjadi di Ibu Kota Negeri Ginseng, Seoul. Pada tahun 1978 harga tanah di kota ini naik hingga 136% gara-gara aksi spekulasi. Di satu sisi permintaannya meningkat, di sisi lain ketersediaan lahan semakin berkurang.

Kondisi ini mendorong pemerintah setempat untuk menerapkan pajak atas lahan kosong guna mengurangi spekulasi dan mendorong pembangunan. Praktiknya, jika ada lahan kosong yang dibiarkan dalam waktu hingga dua tahun, maka akan dikenakan pajak sebesar 5% atau lebih tinggi dari tarif normal 2%.
Tarif pajaknya akan semakin tinggi jika semakin lama lahan dibiarkan kosong, yakni menjadi 7% untuk tiga tahun menganggur dan 8% untuk masa idle lima tahun. Bahkan, pemerintah akan menyita lahan tersebut jika pajaknya tak kunjung dibayar.

Sebenarnya, sudah ada tiga instrumen pajak yang melekat atas tanah dan bangunan dan berlaku di Indonesia, yakni PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan PPh final atas pengalihan tanah dan bangunan.

Untuk PBB, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berbagi kewenangan pengelolaan sejak 2014 sesuai mandat Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pemerintah daerah mendapatkan otoritas untuk mengelola sendiri PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2), sedangkan pemerintah pusat masih dipercayakan pengelolaan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (P3).

Khusus untuk BPHTB, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengelolanya. Sedangkan PPh atas pengalihan tanah dan bangunan merupakan domain pemerintah pusat.

Namun, ketiganya dianggap masih belum cukup untuk mengendalikan kepemilikan dan harga lahan. Setidaknya, pemerintah sudah menyinggung beberapa opsi kebijakan yang mirip dengan pajak lahan idle di beberapa negara.

Opsi pertama adalah pajak atas keuntungan investasi atau Capital Gain Tax. Dalam konteks ini basisnya adalah transksi jual-beli lahan, sehingga pajak dipungut atas selisih antara harga beli dengan harga jual atau dikenakan atas nilai tambah tanah.

Skema seperti ini sebenarnya sudah ada di dalam Undang-Undang (UU) PPh, di mana setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak ditetapkan sebagai objek pajak. Salah satunya, keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta, tetapi untuk keuntungan atas pengalihan tanah dan/atau bangunan saat ini diberlakukan PPh final 2,5%.

Alternatif lainnya adalah pajak dikenakan dengan tarif yang lebih tinggi atas lahan yang tidak produktif atau Unutilized Tax. Opsi ini akan menyasar pada perusahaan atau pribadi yang memiliki tanah secara luas, tanpa memiliki perencanaan yang jelas.

Semakin lama tanah menganggur, semakin besar tarif pajaknya. Skema ini diharapkan bisa mendorong pemilik tanahuntuk memberdayakan lahannya sehingga berdampak positif secara ekonomi.

Basis Legalitas

Kendati sudah ada beberapa skema yang disiapkan, tetapi pemerintah belum menentukan definisi dan parameter yang jelas dari lahan menganggur atau idle. Demikian pula dengan jenis pajak yang akan dipungut, apakah berupa PPh, PBB, atau BPHTB.

Selain itu, pemerintah juga harus menentukan siapa target dari pengenaan pajak progresif atas tanah idle. Apakah penjual atau pembeli, atau keduanya? Penetapan target ini terkait pula dengan jenis pajak yang akan dikenakan.

Penegasan ini terkait pula dengan indikator spekulatif dan definisi spekulan yang kerap disebut pemerintah sebagai sasaran utama. Harus ada garis pembeda antara spekulan dengan individu atau perusahaan pemilik tanah yang secara finansial belum mampu mendanai pembangunan atau pengelolaan lahannya.

Semua penegasan itu pada akhirnya akan menentukan, siapa yang berhak menjadi eksekutor dan penanggung jawab pengelolaan pajak progresif atas tanah idle nantinya. Apakah menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.

Apapun skema yang akhirnya dipilih pemerintah nantinya, dasar hukum pengenaan pajak atas tanah idle harus kuat. Karenanya, regulasi yang berpotensi saling beririsan harus disinkronkan segera, terutama paket UU Perpajakan dan UU Pertanahan atau agraria. Prosesnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena harus dibahas dan mendapat restu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Meninjau Rencana Pajak Progresif Lahan KosongWacana pajak tanah menganggur diharapkan tidak mengganggu investasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)


Tak hanya itu, permasalahan mendasar dari optimalisasi penerimaan pajak selama ini adalah keterbatasan basis data dan asimetris informasi. Kaitannya dengan transaksi jual-beli tanah, biasanya harga perolehan tanah dan data kepemilikan lahan selama ini hanya diketahui oleh penjual dan pembeli.

Untuk itu, sinergi data dan fungsi antar-lembaga juga perlu dirancang sejak dini. Terutama institusi-institusi yang terkait, seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan otoritas terkait di daerah. Hal ini juga penting untuk memastikan agar implementasi kebijakan di lapangan berjalan harmonis dan tidak melanggar kewenangan masing-masing institusi.

Terlepas dari semuanya, jangan sampai upaya meredam aksi spekulasi lewat pajak progresif tanah menganggur justru memukul investasi. (asa)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER