Jakarta, CNN Indonesia --
Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan dalam 7 Days Repo Rate (7DRR) sebesar 4,75 persen. Keputusan ini membuat BI tercatat telah enam bulan berturut-turut menahan suku bunga acuan pada kisaran tersebut.Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengungkapkan, keputusan tersebut diambil sebagai upaya BI untuk menjaga makro ekonomi, sistem keuangan, dan kelanjutan perekonomian domestik."RDG memutuskan untuk mempertahankan suku bunga di 4,75 persen, suku bunga deposit facility di level 4 persen, dan suku bunga lending facility di level 5,5 persen. Ini berlaku efektif mulai 21 April 2017," ujar Tirta saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dilangsungkan pada 18 April 2017 di Kantor Pusat BI, Kamis (20/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Tirta, BI telah mempertimbangkan berbagai faktor, baik dari domestik maupun global. Dari domestik, BI sangat mempertimbangkan penyesuaian sejumlah tingkat harga yang diatur oleh pemerintah (administered price) yang memberikan dampak pada laju inflasi dalam tiga bulan pertama di tahun ini. "Selain itu, BI juga melihat hasil konsolidasi korporasi dan perbankan serta dampaknya terhadap dalam memberikan stimulus pada perekonomian," kata Tirta.
Sementara dari faktor global, BI mempertimbangkan laju pertumbuhan ekonomi sejumlah negara maju, termasuk mengenai risiko yang diberikan oleh negara-negara tersebut kepada Indonesia, seperti Amerika Serikat (AS), China, dan Eropa. Menurut pantauan BI, pertumbuhan ekonomi AS cukup baik terlihat dari investasi yang meningkat, sisi ketenagakerjaan yang membaik, dan konsumsi yang ikut terkerek. Sedangkan dari pertumbuhan ekonomi China, dilihat BI terjaga dari sisi investasi dan konsumsi, terutama melalui proyek-proyek infrastruktur. Sementara dari Eropa, pertumbuhan ekonomi Benua Biru ditopang oleh geliat konsumsi dan perdagangan ekspor.Adapun sentimen dari global yang secara khusus diperhatikan BI, yakni mengenai neraca perdagangan dengan negara mitra dagang, seperti Amerika Serikat dan isu geopolitik yang tengah merebak dalam beberapa waktu terakhir. "Di sisi lain, BI juga terus memantau risiko pasar global, kelanjutan kenaikan suku bunga di AS, dan geopolitik global," tekan Tirta.