Jakarta, CNN Indonesia -- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk akan memanfaatkan kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait Giro Wajib Minimum (GWM)
Averaging. Pasalnya, bank pelat merah tersebut mengklaim tengah membutuhkan kelonggaran likuiditas.
Likuiditas perseroan tercatat ketat, hal itu tercermin dari
Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 93 persen per kuartal I 2017.
Direktur Utama BRI Suprajarto mengungkapkan, dana pihak ketiga (DPK) perseroan belum bisa diandalkan untuk menopang ekspansi kredit secara maksimal. Sebagai solusi, perseroan berencana mengajukan relaksasi kepada BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk kelonggaran LDR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"LDR kami 93 persen. Itu bukan sesuatu yang jelek. Tetapi, LDR kami mentok, makanya kami akan meminta relaksasi beberapa aturan terkait LDR. Misalnya, menurunkan GWM dari 6,5 persen menjadi 5 persen, untuk melonggarkan likuiditas kami," tutur dia, Kamis (20/4).
Menurut hitung-hitungan Direktur BRI Haru Koesmahargyo, dengan penurunan GWM tersebut, likuiditas perseroan bisa bertambah sekitar Rp10 triliun. Nilai ini lumayan untuk menyeret turun LDR sekaligus meningkatkan kembali penyaluran kreditnya.
"Sebetulnya, dana mahal itu banyak kok di pasar. Tetapi, kalau tidak benar-benar dibutuhkan untuk menumbuhkan kredit, ya kami kurangi. Tujuannya, supaya
cost of fund (biaya dana) turun. Lebih riil, kami minta penurunan GWM, di samping beberapa relaksasi lain yang akan kami ajukan," terang dia.
Sekadar gambaran, pada kuartal pertama ini, BRI mencatat pertumbuhan kredit 16,4 persen dari Rp561,1 triliun pada kuartal I 2016 menjadi sebesar Rp653,1 triliun. Sementara, DPK perseroan cuma meningkat 11 persen menjadi Rp701,2 triliun. Kendati demikian, komposisi dana murah (casa) masih mendominasi sebanyak 56,63 persen.