Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menilai mengemukanya kembali perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) dalam beberapa waktu terakhir tidak akan mengganggu stabilitas sistem keuangan.
"Saya tidak melihat ini sebagai suatu hal negatif pada stabilitas sistem keuangan," tutur Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo di Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kamis (27/4).
Menurut Agus, pemeriksaan perkara BLBI menunjukkan komitmen penegak hukum dalam menyelesaikan perkara di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pernah ada periode ini diangkat. Mungkin sekarang ini diangkat lagi tentu itu menunjukkan komitmen para penegak hukum," ujarnya.
Pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan mempercepat proses penyelidikan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Penerbitan surat itu ditenggarai merugikan negara sebesar Rp3,7 triliun.
Atas hal tersebut, KPK telah menetapkan KPK menetapkan eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham BDNI.
Pasalnya, KPK mengendus adanya kejanggalan dari penerbitan SKL yang diberikan Syafruddin kepada Sjamsul. Pasalnya, dari tagihan sebesar Rp4,8 miliar, Sjamsul baru membayarnya dengan menyerahkan aset senilai Rp1,1 triliun ke BPPN.
KPK berencana menelusuri sejumlah aset perusahaan yang terkait dengan Sjamsul, salah satunya produsen ban PT Gajah Tunggal Tbk. Pasalnya, Sjamsul belum melunasi tanggung jawab atas penerimaan BLBI.
Sebagai informasi, BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis.
Pada Desember 1998, Bank Indonesia menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari Rp147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan, Rp138,7 triliun dinyatakan merugikan negara.
Sementara itu, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditemukan adanya penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun. Sejumlah Rp53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.