Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha mengaku gerah kala isu upah minimum dijadikan janji-janji politik dalam perhelatan pemilihan kepala daerah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, janji kenaikan upah minimum ini berpotensi menjadi buah simalakama bagi para pengusaha.
Pasalnya, janji-janji politik ini kadang tidak didasari dengan data yang akurat. Sehingga, jika nantinya janji ini dipenuhi, maka pengusaha perlu merogoh kocek lebih dalam meski kondisi perekonomian sedang tidak bersahabat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini terjadi pembiaran terhadap politisasi isu upah minimum. Semua pelaku politik menjadikan ini sebagai barang dagangan. Kami harap, ke depan tidak boleh lagi masalah tenaga kerja ini dibuat politisasi karena harganya mahal sekali bagi kami," ujar Hariyadi, Sabtu (29/4).
Meski terkesan menggiurkan, isu upah minimum ini dianggapnya tidak begitu berpengaruh terhadap elektabilitas. Ia berkisah tentang seorang calon kepala daerah di Bekasi yang mengumbar iming-iming Upah Minimum Regional (UMR) tertinggi di Indonesia dalam kampanyenya. Sayangnya, meski calon Kepala Daerah ini maju dua kali di dalam Pilkada, ia tak pernah bisa memenangkan hati rakyat Bekasi.
"Memang tidak ada korelasinya antara elektabilitas dan isu upah minimum ini. Hanya sekadar barang dagangan saja ternyata. Meski demikian, kami mencermati juga ada kasus di mana ada kontrak politik antara buruh dengan calon kepala daerah, seperti Pilkada DKI Jakarta baru-baru ini," jelasnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN) Baso Rukman juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, terkadang upah minimum di sebuah regional malah meningkat lebih dulu mendekati masa-masa Pilkada. Biasanya, ini dilakukan untuk memikat hati masyarakat agar mau memilih calon petahana.
Sayangnya, ini pun bisa berdampak buruk, karena bisa menimbulkan kecemburuan bagi wilayah-wilayah sekitarnya. "Ya karena jadi barang dagangan, makanya variasi kenaikan upah minimum antar daerah ini juga perlu dicermati dengan baik," lanjutnya.
Senada, Direktur Pengupahan Direktorat Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Adriani menuturkan, janji-janji politik tersebut tidak mengindahkan asas perhitungan upah minimum yang seharusnya, yaitu berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Dengan perhitungan yang terkesan seenaknya, ia juga menyayangkan bahwa penetapan upah minimum ini sarat kepentingan.
"Memang ada survei KHL di beberapa daerah, tapi hasil survei dan hasil upahnya ini tidak sesuai. Faktor politik ini memang mempengaruhi perhitungan, padahal sudah ada aturan pasti mengenai upah minimum ini," lanjut Adriani.
Formulasi upah minimum sendiri diatur di dalam pasal 44 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015. Menurut beleid tersebut, upah minimum dipengaruhi oleh upah tahun sebelumnya, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.