Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memiliki kepentingan untuk menerbitkan aturan main turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Perppu ini merupakan payung hukum penerapan sistem keterbukaan dan pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI). Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) berwenang untuk mengorek informasi keuangan nasabah perbankan, baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri yang terkait dengan pemeriksaan perpajakan.
"Segera yakinkan publik tentang isi, maksud, dan konteks Perppu ini. Supaya, tidak menimbulkan gejolak, karena ini sensitif," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lagipula, sambung Yustinus, masih ada sejumlah aturan yang belum dirinci dalam Perppu yang resmi diundangkan pada 8 Mei 2017 lalu. Ia mencatat, setidaknya ada empat aturan turunan yang tidak dijelaskan. Sehingga, perlu dituangkan dalam peraturan teknis, misal Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Pertama, mekanisme baku pelaporan dan pertukaran data.
Kedua, standardisasi format laporan.
Ketiga, sistem kontrol akses terhadap data.
Keempat, sanksi atau hukuman terhadap penyalahgunaan data atau informasi.
"Untuk mekanisme baku pelaporan dan pertukaran data, termasuk standardisasi format laporan, pemerintah bisa mengikuti mekanisme dan standar yang telah dijalankan oleh negara-negara lain, sesama penganut sistem keterbukaan," kata Yustinus.
Hanya saja, ia mengingatkan, karena pertukaran informasi juga bersifat resiprokal atau timbal balik, sehingga mekanisme dan standarnya harus disepakati dengan negara yang dituju.
"Ini masih perlu diterjemahkan dalam kerja sama bilateral yang konkret dan efektif. Kalau dengan negara maju, saya kira sudah oke. Tetapi, untuk negara berkembang, butuh kesiapan," imbuh dia.
Khususnya, kesiapan dari sisi administasi, informasi teknologi, sumber daya manusia, dan regulasi untuk menata mekanisme dan standar pelaporan data, sehingga harus diperjelas lebih lanjut agar pertukaran data lebih leluasa.
Kemudian, terkait, sistem kontrol akses terhadap data, menurut Yustinus, Sri Mulyani harus membentuk basis pengawasan di bawah Kemenkeu terhadap pembukaan data dan pemeriksaan pajak oleh DJP terhadap data nasabah tersebut. Tujuannya tak lain agar tak ada celah penyalahgunaan data atau informasi.
"Sistem kontrol internal saja, kalau antar negara akan bergantung masing-masing negara. Untuk internal, jangan sampai ada penyalahgunaan kekuasaan. Karena ini pertaruhan transparansi wajib pajak dengan akuntabilitas otoritas pajak," tegas dia.
Terakhir, terkait sanksi atau hukuman terhadap penyalahgunaan data atau informasi perlu diperjelas lantaran dalam Perppu AEoI hanya menjelaskan sanksi atau hukuman bagi pimpinan, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan entitas lain, serta setiap orang yang membuat pernyataan palsu atawa menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan.
Pasal 7 Perppu AEoI menyebut bahwa sanksi atau hukuman yang akan diberikan berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan, untuk pihak-pihak yang menyalahgunakan data tersebut, belum diperjelas hukumannya.