Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai membahas landasan hukum sistem keterbukaan dan akses pertukaran informasi
(Automatic Exchange of Information/AEoI) data nasabah.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Pemeriksaan Perpajakan. Aturan itu perlu disetujui oleh DPR untuk bisa disetarakan dengan Undang-undang (UU).
Dalam penjelasannya kepada para anggota Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, ada sekitar Rp2.067 triliun harta Warga Negara Indonesia (WNI) yang tersimpan di berbagai belahan dunia yang belum dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sri Mulyani, dengan mengutip data McKinsey pada 2014, terdapat sekitar Rp3.250 triliun jaringan kekayaan dari Indonesia di luar negeri. Di mana dari angka tersebut, sekitar Rp2.600 triliun tersimpan di Singapura, dalam bentuk deposito, equity, hingga
fix income.
"Sedangkan deklarasi aset di luar negeri dan repatriasi sebanyak Rp1.183 triliun, sehingga diperkirakan ada potensi Rp2.076 triliun aset WNI yang disimpan di luar negeri dan belum diungkap di program pengampunan pajak," ucap Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR, Senin (29/5).
Selain itu, berdasarkan hasil program pengampunan pajak atau
tax amnesty yang diselenggarakan pada Juli 2016 sampai Maret 2017 lalu, DJP Kemenkeu mencatat, sekitar Rp1.036 triliun dari total deklarasi aset di luar negeri yang mencapai Rp1.183 triliun tersebut, tersimpan di lima negara suaka pajak besar.
Tercatat, sebanyak Rp766,05 triliun deklarasi aset luar negeri tersimpan di Singapura. Lalu, British Virginia Island sebanyak Rp77,5 triliun, Hong Kong sebanyak Rp58,17 triliun, China sebanyak Rp53,14 triliun, dan Australia sebanyak Rp42,04 triliun.
 Menteri Keuangan Sri Mulyani. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Sedangkan dari sisi repatriasi, sebanyak Rp85,35 triliun berasal dari Singapura, Rp16,51 triliun dari Cayman Island, Rp16,31 triliun dari Hong Kong, Rp6,57 triliun dari British Virginia Island, dan sekitar Rp3,56 triliun dari China.
"Hal ini menandakan bahwa selama ini Ditjen Pajak tidak mengerti cara untuk mengungkap harta dari wajib pajak dan adanya keterbatasan akses terhadap data keuangan di perbankan memberikan dampak pada kepatuhan ini," kata Sri Mulyani.
Bersamaan dengan potensi dan hasil
tax amnesty tersebut, menurut Sri Mulyani, membuat kehadiran Perppu sebagai landasan hukum pelaksanaan sistem AEoI di Indonesia bersama dengan sejumlah negara-negara yang tergabung dalam forum G20, menjadi penting untuk segera disahkan oleh DPR dan diserahkan kepada G20 pada 30 Juni 2017 mendatang.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Sarmuji justru ragu dengan potensi harta WNI yang diungkap oleh Sri Mulyani. Pasalnya, Sri Mulyani menggunakan data potensi harta WNI di luar negeri pada tahun 2014.
Sedangkan, pada pembahasan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menjadi landasan hukum pelaksanaan
tax amnesty, pemerintah sempat menyebutkan bahwa potensi harta WNI mencapai kisaran Rp11 triliun.
"Apa kira-kira DJP memiliki data di luar data McKinsey tersebut? Karena dulu disebutkan ada (potensi harta) mencapai Rp11 triliun. Nah, itu menyusut hanya sekitar Rp3 triliun?" kata Sarmuji pada kesempatan yang sama.
Selain itu, Sarmuji juga mempertanyakan kepada Sri Mulyani, terkait prinsip resiprokal atau timbal balik yang menjadi landasan pelaksanaan pertukaran informasi dengan negara yang ingin diketahui data keuangan nasabah perbankannya.
"Masalahnya, apakah negara
tax haven itu sudah melakukan hal yang sama dengan Indonesia (untuk melaksanakan AEoI)? Kalau tidak, hal yang kita lakukan itu percuma, kita tidak dapat informasi dari orang-orang di Singapura dan lainnya. Kalau belum, efektivitas Perppu ini menjadi berkurang," terang Sarmuji.