Proyek PLTU Terganjal Pembiayaan yang Seret

CNN Indonesia
Kamis, 08 Jun 2017 12:39 WIB
Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia menyebut saat ini hanya tiga negara yang mau ikut membiayai proyek PLTU, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang.
Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia menyebut saat ini hanya tiga negara yang mau ikut membiayai proyek PLTU, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/Rei/pd/14)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) menilai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan menghadapi tantangan baru di masa depan. Pasalnya, kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan internasional bagi PLTU kian hari semakin minim.

Sekretaris Jenderal MKI Heru Dewanto menyebut, saat ini hanya ada tiga negara yang mau membantu pembiayaan proyek PLTU, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang.
Sementara itu, lembaga pembiayaan dari negara-negara maju yang tergabung Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sudah enggan memberikan pinjaman bagi PLTU karena masalah lingkungan.

"Lambat laun, batu bara akan menjadi public enemy bagi global karena masalah lingkungan. Sehingga yang harus dipikirkan ke depan adalah bagaimana bisa mencari pembiayaan yang efektif bagi pembangkit batu bara," ujar Heru, Rabu (7/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia melanjutkan, tekanan ini akan semakin berat karena pembangkit bertenaga batu bara mengambil sebagian besar porsi energi primer di perencanaan ketenagalistrikan kedepannya.

Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026, porsi batu bara dalam 10 tahun ke depan masih mendominasi bauran energi (energy mix), yaitu 50,4 persen.

Di sisi lain, saat ini Jepang juga tengah menghadapi tekanan dari kelompok pro lingkungan untuk tidak memberikan pendanaan kepada proyek PLTU. Padahal, pembiayaan dari Jepang, utamanya dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dianggap memiliki tawaran yang sangat menarik.

"Kalau Indonesia dalam 10 tahun ke depan masih mengandalkan pembangunan PLTU, maka pendanaan semakin sulit. Pembiayaan dari dalam negeri tidak mumpuni, sedangkan sumber luar negeri terbatas. Pembiayaan akan menjadi tantangan terbesar dalam pembangunan pembangkit energi primer," papar pria yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur Cirebon Power ini.

Tak hanya di luar negeri, gerakan untuk mengurangi penggunaan batu bara pun dianggapnya sudah mulai mempengaruhi pembangunan di Indonesia.

Ia berkaca pada proyek yang PLTU Cirebon Unit II yang dikerjakan perusahaannya dan kini terancam tidak bisa diteruskan karena proyeknya digugat ke Perdilan Tata Usaha Negara (PTUN) gara-gara izin lingkungan.

Padahal sebelumnya, perusahannya telah melakukan kewajiban pembiayaan (financial closing) dengan JBIC, Korea Eximbank (KEXIM), dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) dengan besaran pinjaman sebesar US$1,74 miliar.

Resistensi dari kelompok pro lingkungan ini, lanjutnya, juga membuat lembaga pembiayaan pikir ulang untuk meminjamkan uangnya ke proyek PLTU dalam negeri.

"Apa yang kami rasakan seperti rollercoaster. Banyak suka duka menarik yang telah kami alami," jelas Heru.

Sementara itu, Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan, penggunaan tenaga batu bara memiliki dilema tersendiri. Meski ditentang habis-habisan, namun batu bara dianggap sebagai energi yang murah dan cadangannya masih melimpah di Indonesia.

Ia merujuk pada data RUPTL, di mana cadangan batu bara terbukti Indonesia berada di angka 28,45 miliar ton. "Melihat seperti ini, memang pilihan untuk menjadi tulang punggung energi primer Indonesia ya tetap batu bara," jelas Iwan.

Hingga akhir tahun 2016, kapasitas terpasang PLTU di Indonesia mencapai 28.090 megawatt (MW). Sementara itu, di dalam RUPTL disebutkan bahwa akan ada tambahan PLTU sebesar 31.900 MW dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER