Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat terdapat sebanyak 48 Konglomerasi Keuangan (KK) dengan total aset mencapai Rp5.915 triliun hingga akhir tahun lalu. Adapun OJK rencananya akan menerbitkan peraturan OJK tentang Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) yang mewajibkan KK memiliki perusahaan induk (holding company) dan merubah definisi KK.
Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Muliaman Hadad mengungkapkan, pembentukan PIKK didasari oleh masukan dari industri. Selain itu, pihaknya juga telah melakukan penelitian berdasarkan praktik yang berlaku di di beberapa negara lain seperti Malaysia, Korea, dan Singapura yang telah menerapkan aturan serupa.
Saat ini, menurut Muliama, konsep Entitas Utama (EU) yang digunakan memiliki keterbatasan, yaitu EU tidak memiliki kendali terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lain anggota KK, terutama EU yang menaungi anggota KK secara horizontal. Hal ini, berisiko menyulitkan penerapan manajemen risiko, tata kelola, dan permodalan terintegrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan adanya ikhtiar ini, pengawasan terhadap konglomerasi keuangan menjadi semakin baik, kami nmendapatkan data yang up to date dan peningkatan awareness di grupnya," tutur Muliaman di Gedung Soemitro Djojohadikusumo, Senin (12/6).
Dengan demikian, menurut dia, beleid pembentukan PIKK dan perubahan definisi KK ini bisa melengkapi dan memperkuat kebijakan pengawasan terintegrasi terhadap KK. Hingga saat ini, OJK telah menerbitkan tiga Peraturan OJK (POJK) yaitu POJK Nomor 17/2014 tentang Manajemen Risiko Terintegrasi, POJK Nomor 18/2014 Tata Kelola Terintegrasi, POJK 26/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi.
Dengan adanya PIKK khusus untuk sektor jasa keuangan, maka seluruh aktivitas KK dapat dikonsolidasikan dan dikendalikan oleh PIKK. Adapun fungsi EU yang selama ini dapat dijalankan oleh salah satu LJK dalam KK, nantinya akan dilaksanakan oleh PIKK.
Kepala Grup Penelitian, Pengaturan, dan Pengembangan Pengawasan Terintegrasi OJK Aditya Jayaantara menambahkan, pada rancangan beleid ini, suatu grup LJK baru dinyatakan sebagai KK apabila terdiri dari LJK pada setidaknya 2 sektor, antara lain bank, perusahan asuransi dan reasuransi, perusahaan efek, dan/atau perusahaan pembiayaan. KK juga memiliki total aset minimal Rp2 triliun.
"Berdasarkan kriteria baru tersebut, saat ini terdapat 48 KK dengan total aset per posisi 31 Desember 2016 mencapai Rp 5.915 Triliun atau 67,52 persen dari total aset keseluruhan sektor jasa keuangan," ujar Aditya di tempat yang sama.
Dalam RPOJK tentang PIKK, OJK juga akan mengatur tentang perubahan kriteria KK yang semula hanya mempertimbangkan adanya hubungan kepemilikan oleh pihak yang sama, menjadi mempertimbangkan pula aspek keberagaman sektor keuangan dan total aset KK.
Sesuai POJK No. 17/POJK.O3/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi terhadap Konglomerasi Keuangan, LJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian, dianggap sebagai KK.
Lebih lanjut, dalam rancangan beleid tersebut, yang wajib membentuk PIKK adalah Pemegang Saham Pengendali atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir. Artinya, aturan ini mungkin akan mengubah struktur kepemilikan, terutama apabila terdapat LJK yang tidak dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh entitas yang ditunjuk sebagai PIKK. PIKK dapat berupa salah satu LJK dalam KK, atau dapat pula berupa entitas non LJK, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk.
Rancangan POJK ini akan dilengkapi juga dengan pedoman pelaksanaan terkait proses penetapan PIKK. Apabila calon PIKK berupa entitas non LJK, maka terlebih dahulu akan dinyatakan sebagai LJK Lainnya oleh OJK sebagaimana diatur pada UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK, sehingga tunduk kepada dan diawasi oleh OJK. Selanjutnya, LJK Lainnya tersebut akan ditetapkan sebagai PIKK.
Saat ini, OJK sudah dalam tahap permintaan tanggapan publik atas RPOJK PIKK tersebut. Diharapkan, POJK ini bisa terbit sebelum akhir tahun 2017.