Jakarta, CNN Indonesia -- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia berencana mengajukan uji materi atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 tentang Perkebunan.
Secara lebih rinci, Ketua SPKS nasional Mansuetus Darto mengatakan, dalam pasal 9 ayat 2 PP tersebut menyatakan bahwa dana sawit yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) bisa digunakan untuk pemenuhan bahan bakar nabati (biofuel).
Padahal, di dalam pasal 93 ayat 4 UU Nomor 39 2014 mengatakan, dana usaha perkebunan yang tidak bersumber dari APBN atau APBD tak mencantumkan penggunaan bagi biofuel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun menurut UU tersebut, dana usaha perkebunan harus digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian, promosi perkebunan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan sarana dan prasarana perkebunan. Ia menduga, ada oknum-oknum yang sengaja bermain untuk memasukkan ayat tersebut meski bertentangan dengan peraturan induknya.
"PP tersebut kan sangat tidak sesuai dengan konstitusi. Kami mempertanyakan masuknya penggunaan dana bagi biodiesel dari dana himpunan BPDP KS. Oleh karenanya, kami akan minta uji materi ke Mahkamah Agung (MA)," jelas Darto, Kamis (15/6).
Apalagi menurutnya, penggunaan dana sawit untuk biodiesel memiliki indikasi monopoli. Berdasarkan data yang dihimpunnya, sebanyak 90 persen dari penerimaan pungutan ekspor sawit sebesar Rp11,7 triliun di tahun 2016 jatuh untuk subsidi biodiesel.
Berdasarkan informasi yang didapatnya dari Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), 81,8 persen dari alokasi subsidi biodiesel tersebut jatuh ke empat perusahaan besar, yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Wilmar Bioenergi, PT Musim Mas, dan PT Damex Biofuel. Bahkan, dua perusahaan yang tergabung dalam grup Wilmar sendiri mendapatkan dana subsidi biofuel sebesar Rp1,79 triliun.
"Ini cenderung ada monopolisasi dana subsidi," katanya.
Selain terbilang monopoli, banyaknya penerimaan sawit yang lari ke subsidi biodiesel dianggap tak sesuai mengingat peruntukkan dana sawit yang paling utama adalah pengembangan sumber daya manusia.
Menurutnya, dari Rp11,7 triliun penerimaan dana sawit tahun lalu, hanya 10 persen yang benar-benar dialokasikan untuk pengembangan sektor kelapa sawit.
"Dana 10 persen dari penerimaan BPDP KS dialokasikan bagi lima kegiatan utama sekaligus itu keterlaluan. Padahal penggunaan dana untuk biodiesel ini tidak tercantum di dalam UU-nya, tetapi kenapa bisa masuk ke dalam peraturan turunannya. Sudah begitu, mengambil porsi alokasi yang besar pula. Dana sawit ini kan bukan untuk korporasi," terang Darto.
Atas dasar itu, SPKS berniat mengajukan pertimbangan hukum dari Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum melayangkan uji materi ke MA. Rencananya, SPKS akan membentuk koalisi bersama Koperasi Unit Desa (KUD) kelapa sawit untuk menyerahkan kajian ke MK bulan Juli mendatang.
"Tentu saja kami
confident (bisa menang), karena sudah jelas-jelas PP tersebut menyalahi peraturan induknya. Kami minta pertimbangan hukum dari MK agar memiliki landasan yang kuat sebelum ke MA," imbuhnya.
Selain melanggar UU, pengamat hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) Hifdzil Alim menyebut, PP Nomor 24 tahun 2015 juga mengandung unsur
transfer pricing selain efek monopoli alokasi dana subsidi bagi korporasi. Dalam hal ini, ia menduga ada permintaan imbal jasa korporasi atas pungutan ekspor yang telah dibayar oleh mereka.
"Dana yang terkumpul itu langsung disalurkan lagi ke korporasi sawit, padahal itu duit dari mereka (korporasi) juga. Ini mirip seperti transfer pricing. Ini perlu dilawan karena nantinya petani yang jadi korban karena dana sawit tak dialokasikan ke mereka," terang Hifdzil.