Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah berharap dapat memperoleh suntikan modal dari induk usahanya sebesar Rp1 triliun tahun ini. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi berkurangnya rasio kecukupan modal
(Capital to Adequacy Ratio/CAR) seiring dengan ekspansi bisnis perseroan.
Direktur Utama BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo menjelaskan, saat ini perseroan masih memiliki modal atau ekuitas yang dapat digunakan untuk melakukan ekspansi sekitar Rp2 triliun. Jika seluruhnya digunakan, maka CAR perseroan diperkirakan bakal turun sekitar 1,5 sampai 2 persen.
Dengan adanya tambahan modal Rp1 triliun, perseroan bisa menjaga CAR tetap di kisaran 14 persen. Adapun per Mei 2017, posisi CAR perseroan berada dikisaran 14,45 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tambahan modal tersebut untuk me-
maintain tingkat minimum modal sesuai
'risk appetite' kami di kisaran 14 persen," ujar Firman di kompleks Masjid Al-Azhar akhir pekan lalu.
Selain itu, tambahan modal dari induk menurut dia, juga bisa membantu mempercepat upaya perseroan untuk masuk ke kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III yang mensyaratkan bank memiliki modal inti minimal Rp 5 triliun. Dengan masuk kategori bank BUKU III, lanjut Firman, perseroan dapat melakukan operasi bisnis perbankan di kawasan Asia.
Hingga kini, modal inti BNI syariah tercatat baru mencapai Rp2,8 triliun. Dengan demikian, untuk bisa masuk ke kelompok BUKU III dibutuhkan tambahan modal sekitar Rp2,2 triliun.
"Kalau kita untung Rp250 miliar per tahun, untuk mencapai Rp2 triliun tambahan, berarti memerlukan delapan tahun. Itu terlalu lama," kata Firman.
Selain mengandalkan suntikan modal dari induk, perusahaan juga tengah mempertimbangkan strategi anorganik, baik melalui kemitraan strategis maupun penawaran umum saham perdana
(initial public offering/IPO).
Adapun saat ini, perseroan masih menjajaki kemungkinan IPO. Jika dimungkinkan, paling cepat tahun depan perseroan siap melantai pada bursa efek Indonesia.
"Apabila
price to book value kita bagus, kita bisa IPO. Alternatif itu terbuka, tetapi kita harus
online dan mendapatkan
approval dari
shareholder kita, yaitu pemilik kita BNI," ujarnya.
Tekan NPF Di sisi operasional, perseroan juga tengah berupaya menekan rasio pembiayaan bermasalah
(non performing financing/NPF) gross di bawah tiga persen hingga akhir tahun. Per Mei 2017, NPF
gross BNI Syariah telah mencapai 3,38 persen.
"Untuk NPF, target akhir tahun maksimum tiga persen," ujar Firman.
Guna mencapai target tersebut, lanjut Firman, perseroan meningkatkan kewaspadaan terhadap nasabah perseroan yang berisiko tinggi untuk mengalami gagal bayar. Misalnya, debitur yang terkait dengan industri pertambangan minyak dan gas yang sejak dua tahun yang lalu mengalami penurunan.
"Kami melihat risiko industrinya seperti apa. Misalnya, industri perhotelan, kan beda dengan industri pertambangan," jelasnya.
Strategi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan restrukturisasi kredit, Melalui strategi ini, bank dapat memberikan kelonggaran kepada nasabah dalam hal kewajiban bayar atau melakukan penjadwalan ulang jatuh tempo kewajiban pembayaran nasabah.
"Untuk melakukan restrukturisasi itu harus memenuhi kriteria. Yang pertama, kemampuan bayar nasabah. Kedua, kondisi perusahaan, dan ketiga prospek perusahaan," tambahnya.