Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) berharap implementasi Giro Wajib Minimum primer rata-rata
(GWM Averaging) dapat memangkas suku bunga kredit perbankan.
Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/2017, per 1 Juli 2017, rasio kewajiban GWM primer yang sebelumnya 6,5 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) dan wajib dipenuhi secara harian, diubah menjadi dua komponen yaitu GWM wajib sebesar 5 persen dari DPK harian dan GWM wajib sebesar 1,5 persen dari rata-rata DPK dua minggu atau masa laporan tertentu.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, skema GWM Averaging memungkinkan bank lebih fleksibel dalam mengelola likuiditasnya. Porsi 1,5 persen dari GWM yang dihitung secara rata-rata per dua mingguan, memungkinkan bank menempatkan GWM di bawah 6,5 persen di akhir hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, menurut dia, kelebihan dana yang dimiliki bank dapat dialirkan ke pasar keuangan. Hal tersebut, dapat dilakukan dengan pembelian surat utang di pasar atau meminjamkannya ke bank-bank kecil di pasar uang antar bank (PUAB), sehingga dapat meningkatkan likuiditas pasar keuangan.
"Kalau pasar keuangan likuid diharapkan suku bunganya juga bisa lebih rendah," tutur Mirza di Hotel Pullman Jakarta, Senin (7/4).
Turunnya suku bunga pinjaman pendanaan antar bank menurut Mirza, bisa menurunkan biaya dana perbankan. Dengan demikian, bank bisa memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga pinjaman. Proses tersebut lanjut Mirza, tidak bisa terjadi secara instan, tetapi membutuhkan waktu.
Saat ini, lanjut Mirza, GWM yang ditempatkan perbankan di BI secara total mencapai Rp240 triliun hingga Rp250 triliun per hari. Di luar GWM, hampir Rp400 triliun dana likuditas jangka pendek perbankan kembali ke BI setiap harinya. Padahal, BI berharap dana tersebut bergulir di pasar keuangan.
Di sisi lain, pasar keuangan di Indonesia masih memiliki keterbatasan pilihan instrumen. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab bank menempatkan kelebihan likuditasnya di BI. Oleh karena itu, pihaknya dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut Mirza, perlu memberikan pilihan instrumen keuangan yang lebih banyak
"Tugas BI, tugas OJK untuk menciptakan instrumen supaya dana jangka pendek perbankan tidak kembali ke BI," jelasnya.
Ke depan, BI ingin penerapan GWM rata-rata diterapkan pada seluruh rasio GWM
(full averaging), tidak lagi secara parsial. Namun, hal tersebut harus menunggu kesiapan sistem perbankan di mana setiap bank memiliki manajemen likuiditas dengan baik.
"Kalau mereka (bank) sudah bisa memperkirakan likuiditasnya dengan baik, termasuk bank kecil dan bank menengah, makin cepat makin baik. Kalau tidak, kita mungkin butuh lima tahun lagi," ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Grup Treasuri PT Bank Mandiri Tbk Farida Thamrin mengungkapkan, perlu waktu bagi
GWM averaging untuk bisa benar-benar menekan suku bunga pinjaman perbankan. Pasalnya, dalam jangka pendek, bank masih akan bersikap konservatif dengan tetap menempatkan kelebihan likuditasnya di BI, bukan di pasar keuangan. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan instrumen investasi di pasar keuangan.
Menurut Farida, jika GWM terus dipatok di level 6,5 persen, bank cenderung konservatif untuk menempatkan kelebihan dananya. Artinya, bank akan menempatkan kelebihan likuditas pada instrumen jangka pendek harian
(over night) di BI, misalnya fasilitas deposito BI
(Deposit Facility/DF). Padahal, imbal hasil simpanan harian tak sebesar instrumen yang memiliki tenor lebih panjang.
"Kadang-kadang kami ambil dana dari nasabah bisa 5 persen, 5,5 persen kalau ditaruh di DF bunganya cuma empat persen. Kalau pengelolaannya seperti itu sebetulnya tidak bagus," ujarnya.
Jika pasar sudah lebih yakin, menurut dia, bank secara bertahap akan memperbesar penempatan dananya pada Pembendaharaan Negara (SPN) yang bisa dijadikan jaminan repo dalam kondisi likuiditas ketat.
"Rate repo dibandingkan PUAB jauh lebih rendah," jelasnya.
Adapun saat ini, menurut Farida, DPK Bank Mandiri mencapai sekitar Rp654 triliun. Dengan kebijakan
GWM Averaging, saat ini perseroan memiliki dana sekitar Rp8,5 triliun yang dapat ditempatkan secara fleksibel pada instrumen keuangan. Secara bulanan, perseroan juga memiliki kelebihan likuiditas sekitar Rp15,5 triliun.