Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah kembali mewacanakan untuk memindahkan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke kota lain di luar Pulau Jawa. Kembali munculnya wacana tersebut dinilai karena kebutuhan pembentukan ekonomi baru.
Wacana pemindahan pusat pemerintahan sendiri bukan lah hal baru. Wacana sudah terlalu sering bergulir bahkan sejak era Presiden Soekarno. Soekarno sempat mewacanakan pemindahan ibu kota negara ke kota Palangkaraya, Kalimantan. Presiden Soeharto dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga pernah mewacanakan rencana tersebut.
Salah satu alasan gagal terealisasinya wacana tersebut pada era pemerintah sebelumnya diduga karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memindahkan ibu kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, saat ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tengah membuat kajian terkait rencana tersebut, termasuk bagaimana pendanaannya. Kajian tersebut ditargetkan rampung pada tahun ini.
Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro bahkan berharap, dalam dua tahun ke depan sudah terdapat aktivitas pemindahan ibu kota negara. Bambang pun mengaku, sudah melakukan pembiacaraan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia juga mengusulkan pendanaan terkait pemindahan ibu kota dapat dilakukan dengan menggandeng swasta dan menggunakan skema
Public Private Partnership (PPP).
Kendati demikian, pemerintah hingga kini belum menentukan ke mana pusat pemerintahan akan berpindah. Namun, belum lama ini, Bambang sempat menyebut kemungkinan pemindahan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan.
Ketika dikonfirmasi, Jokowi masih enggan berkomentar terkait wacana tersebut. "Nanti saya info kan," ungkap Jokowi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/7)
Senada, Sri Mulyani yang ditemui ditempat yang sama dengan Jokowi juga enggan berkomentar. Penjelasan terkait pemindahan ibu kota, termasuk pendanaannya, menurut dia, nantinya akan dijelaskan oleh Presiden. "Saya tidak ada komentar, nanti dijelaskan Presiden," terang dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudistira memperkirakan, wacana tersebut akan kembali hanya menjadi wacana. Pasalnya, dibutuhkan anggaran yang sangat besar untuk memindahkan ibu kota negara. Padahal, tanpa rencana pemindahan ibu kota negara saja, defisit Anggaran Pemerintah dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 sudah hampir mendekati 3 persen.
"
Outlook penerimaan negara kan cukup sulit, rasio pajak hingga lima tahun ke depan kemungkinan akan sulit berada diatas 12 persen," ungkap dia.
Pemindahan ibu kota menurut dia, memang pernah dilakukan oleh sejumlah negara. Salah satu yang paling dekat adalah Malaysia yang memindahkan ibu kotanya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Kendati hanya berjarak 30 km, pemindahan ibu kota tersebut menelan biaya sekitar US$8,1 miliar atau sekitar Rp107 triliun.
Biaya tersebut merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur Putrajaya. Namun, hingga kini sebagian infrastruktur yang dibutuhkan pemerintahan Malaysia pun masih bergantung pada Kuala Lumpur.
"Malaysia itu juga negara federal dan jumlah pegawai pemerintahan pusatnya jauh lebih sedikit. Jadi, kalau Indonsia ingin memindahkan ibu kota negaranya, pasti biaya yang keluar jauh lebih besar," jelas dia.
Bima memproyeksi, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk memindahkan ibu kota bisa mencapai Rp1.000 triliun. Angka tersebut bahkan bisa lebih tinggi, mengingat Indonesia sangat rentan dengan aksi spekulasi tanah. "Proyek infrastruktur saja sering mandek karena spekulasi tanah," kata dia.
Oleh karena itu, Bima menilai, pemerintah sebaiknya fokus untuk membangun infrastruktur di Jakarta dan sekitarnya dibandingkan memindahkan ibu kota.
"Memang, pemindahan ibu kota bisa diikuti oleh peningkatan aktivitas ekonomi. Tapi, biaya ekonomi secara nasional bisa meningkat," jelasnya.
Selain Malaysia, pemindahan ibu kota memang pernah dilakukan oleh sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Australia. Namun, lagi-lagi, negara-negara tersebut merupakan negara federal yang memiliki jumlah pegawai negeri yang relatif kecil.
Sementara itu, negara maju yang pemerintahannya berbentuk kesatuan seperti Indonesia, memilih untuk mempertahankan ibu kota negara, meski mengalami masalah yang tak lebih pelik dari Jakarta. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, tetap mempertahankan Tokyo dan Seoul sebagai ibu kota karena biaya pemindahan ibu kota yang terlalu besar jika dilakukan.
Ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta juga menilai, rencana pemindahan ibu kota membutuhkan biaya dan tenaga yang besar serta waktu yang panjang. Hal tersebut dikhawatirkan dapat menganggu pemerintah dalam mencapai prioritas lainnya.
"Disisi lain, dampak jangka panjangnya masih jauh dari pasti, seperti kemacetan lalu lintas dan kepadatan penduduk di Jakarta yang berkurang atau pembangunan di wilayah timur Indonesia yang lebih cepat," jelas dia.
Menurut Rangga, jika ibu kota di pindahkan, pembangunan infrastruktur pada wilayah memang akan meningkat. Namun, ia khawatir, pembangunan di wilayah lain akan dikorbankan.
Suara berbeda datang dari Kepala Ekonom SKHA institute Eric Sugandi. Ia menilai, positif wacana yang kembali digulirkan pemerintah tersebut. Pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa, dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan antar daerah.
"Proses penyiapan gedung-gedung dan infrastruktur baru di tempat baru akan mendorong pertumbuhan ekonomi di lokasi tersebut dan daerah-daerah sekitarnya," ujar Eric.
Disamping itu, menurut dia, jika pemindahan sudah selesai dilakukan, kota dan provinsi tersebut juga akan menjadi pusat pertumbuhan baru. Ia menilai, pemerintah juga dapat memenuhi kebutuhan anggaran untuk memindahkan ibu kota, sepanjang dikucurkan secara bertahap.
"Bertahap bisa, asal dialokasikan APBN. Dan, DPR juga harus menyetujui alokasi anggaran. Yang jelas, rencana ini mesti matang dan jangan bikin masalah baru ke pengelolaan defisit APBN," kata dia.
Jika ingin memulai pemindahan ibu kota pada tahun depan, pemerintah idealnya mulai menganggarkan rencana tersebut ke dalam APBN 2018.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Samual menyebut, data-data makro ekonomi dan perbankan akhir-akhir ini memperkuat sinyalmen disparitas pembangunan antar daerah. Hal ini, menurut dia, tak terlepas dari kebijakan yang terlalu berpusat ke Pulau Jawa.
Jika tren kesenjangan pembangunan terus berlangsung, menurut David, daya dukung lingkungan di Jawa dan Jakarta akan terus menurun dan tak sanggup lagi menanggu beban lingkungan tersebut. Untuk itu, menurut David, upaya terobosan seperti pemindahan ibu kota ke wilayah lain perlu dipertimbangkan.