Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi sinyal ketentuan perpajakan dan bea keluar ekspor yang harus dibayarkan PT Freeport Indonesia akan mengikuti ketentuan status kontrak yang berlaku saat ini, yaitu Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dengan kata lain, perpajakan dilakukan berdasarkan
prevailing. Sehingga, ketentuan perpajakan Freeport tak mengikuti ketentuan kontrak sebelumnya, yang berupa Kontrak Karya (KK) atau bersifat
naildown.
"Di undang-undang secara jelas bahwa perubahan menjadi IUPK berarti menghendaki adanya prevailing law, yang berarti kita akan hitung berdasarkan kewajiban berbasis pada UU Perpajakan saat ini," ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Selasa (4/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila menganut ketentuan
prevailing, artinya, Freeport perlu membayar ketentuan pajak sesuai UU berlaku, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 25 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, Pajak Penjualan (PPn) sebesar 2,3 persen hingga 3,0 persen.
Sedangkan dari sisi bea keluar, kemarin Freeport masih diganjar bea keluar sebesar 5,0 persen. Namun, ke depan, sesuai dengan IUPK, Freeport harus membayar 7,5 persen lantaran pembangunan smelter belum mencapai 30 persen.
Selain mengenai ketentuan perpajakan dan bea keluar, Freeport juga akn dikenakan biaya royalti dari produksi emas dan perak.
Untuk royalti emas, sebelumnya berdasarkan KK, Freeport membayar 1,0 persen, namun nanti meningkat menjadi 3,75 persen berdasarkan IUPK. Sedangkan untuk royalti perak menjadi 3,25 persen dan tembaga sebesar 4,0 persen.
Kendati begitu, Sri Mulyani menegaskan bahwa dari sisi internal pemerintah masih terus melangsungkan diskusi terkait status Freeport ke depan, di mana kelanjutannya belum difinalisasi.
Diskusi tersebut, sambungnya, melibatkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.
Dalam pertimbangannya, setidaknya ada empat hal yang terus difinalisasi oleh pemerintah untuk dinegosiasikan kepada perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat itu.
Pertama, terkait perpanjangan kontrak. Kedua, progres pembangunan smelter. Ketiga, kelanjutan divestasi saham. Keempat, faktor fiskal yang terkait pada penerimaan negara.
"Kami terus lakukan koordinasi untuk menyamakan seluruh informasi yang sudah kita kumpulkan, misalnya tim teknis di bawah Pak Jonan, sudah melakukan pertemuan yang cukup intensif untuk melihat paket perundingan yang akan kami sampaikan ke Freeport, sehingga dapat manfaat paling maksimal dalam kontrak jangka ke depan," jelas Sri Mulyani.
Sebelumnya, dari sisi perpanjangan kontrak, Jonan memberi sinyal bahwa pemerintah membuka opsi perpanjangan kontrak Freeport sampai 2041 mendatang.
Pasalnya, dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), perusahaan dengan status IUPK mendapat izin hingga 20 tahun dengan perpanjangan dua kali setiap sepuluh tahun. Sedangkan, sampai saat ini, kontrak Freeport masih sampai tahun 2021.
Namun, bila Freeport memperpanjang kontrak, perusahaan yang beroperasi di tambang Grasberg itu wajib melakukan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter dalam lima tahun ke depan dan akan dievaluasi progresnya oleh pemerintah setiap enam bulan sekali.
Jika dalam waktu enam bulan sebelum berakhirnya IUPK tak ada pembangunan smelter, maka pemerintah bisa mencabut izin operasi Freeport.
Sementara itu, evaluasi pembangunan smelter juga bertujuan untuk menentukan tarif bea keluar ekspor konsentrat mineral yang harus dibayarkan oleh Freeport kepada negara.
Sebagai informasi, berdasarkan data Kemenkeu, penerimaan negara dari Freeport sekitar Rp8 triliun di tahun 2016 dengan 15,37 persennya atau setara Rp1,23 triliun berasal dari bea keluar ekspor konsentrat.