Jakarta, CNN Indonesia -- Ramadan dan Idul Fitri biasanya menjadi dongkrak pertumbuhan ekonomi selama setahun. Pasalnya, kebutuhan yang tinggi membuat konsumsi masyarakat melesat, dan menggenjot roda perputaran uang.
Namun nyatanya, pada Lebaran tahun ini kondisi permintaan barang dan jasa yang terjadi di masyarakat malah mengalami stagnasi bahkan cenderung turun. Hal tersebut terindikasi dari turunnya penjualan pedagang, perusahaan ritel serta permintaan kredit bank untuk segmen konsumer.
Fenomena ini menjadi lampu kuning bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, konsumsi masyarakat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laju inflasi pada Juni 2017 sebesar 0,69 persen secara bulanan (
month to month/mtm) merupakan yang terendah selama tiga tahun terakhir. Padahal, periode tersebut merupakan momen Ramadan dan Lebaran, di mana biasanya inflasi tinggi karena daya beli masyarakat yang juga meningkat.
Pelemahan daya beli masyarakat itupun diakui oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, ia mengatakan bahwa hampir semua perusahaan ritel mengeluhkan turunnya daya beli masyarakat. Tahun ini, menurut Hariyadi, daya beli masyarakat memang jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Ukurannya memang pada saat hari raya Idul Fitri. Hampir semua pengusaha menyatakan keluhannya bahwa ada penurunan yang cukup signifikan dibanding tahun lalu," ujar Hariyadi saat dihubungi, Senin (10/7).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman juga menilai, pemerintah perlu mengantisipasi penurunan daya beli yang terus terjadi. Menurut dia, untuk menarik pertumbuhan diperlukan sinkronisasi antara kebijakan ekonomi makro dan mikro.
"Kenapa
investment grade bagus, cadangan devisa bagus, pertumbuhan ekonomi bagus tapi kok ritelnya agak jelek. Nah, ini yang harus kita cari kenapa tidak ada hubungannya. Ini yang sementara belum terjawab," tanyanya.
 (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Adhi melanjutkan, pemerintah harus sadar jika kondisi seperti ini sudah agak rawan sehingga perlu diantisipasi segera supaya tidak berkelanjutan.
"Daya beli masyarakat ini yang perlu diantisipasi pemerintah. Kalau sudah terlanjur, agak berat untuk mengangkat lagi," ungkapnya.
Adhi berharap tidak ada ancaman PHK bagi industri makanan dan minuman terkait imbas penurunan daya beli masyarakat.
"Saya dengar dari ritel beberapa sudah mengurangi. Untuk industri makanan minuman saya belum dengar ada PHK. Mudah-mudahan tidak terjadi, tapi kita harus antisipasi kelemahan ekonomi ini bersama pemerintah," katanya.
Menurunnya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia selama semester I juga terlihat dari landainya permintaan kredit perbankan segmen khususnya segmen otomotif.
Direktur Konsumer PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan, mengatakan penurunan paling dalam untuk kredit konsumer terjadi untuk portfolio kredit otomotif kendaraan roda empat, penurunan permintaan kredit segmen tersebut pada semester I tahun ini diperkirakan bisa mencapai minus 10 persen.
Kendati demikian menurutnya, segmen kredit konsumer lainnya yakni Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan Kartu Kredit (KK) masih bisa diandalkan dengan masing-masing pertumbuhan mencapai 10 persen dan 15 persen. Optimisme itu terdorong berkat insentif yang datang pertengahan tahun ini dimana Bank Indonesia (BI) telah memberikan pelonggaran terhadap aturan bunga kartu kredit.
"Tapi kami juga monitor apakah akan ada perlambatan di kuartal III dan total semester II, karena adanya kekhawatiran daya beli masyarakat yang menurun. Dan kita lihat apakah penurunan bunga kartu kredit akan bisa tetap menggairahkan penggunaan kartu kredit sebagai metode pembayaran," ujar Lani.
Melemahnya sentimen konsumen terhadap ekonomi juga disertai peningkatan kekhawatiran langkanya lapangan kerja. Kekhawatiran tersebut terukur dalam Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Juni 2017 hasil survei Danareksa Research Institute turun sebesar 0,9 persen menjadi 98,2.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Damhuri Nasution mengatakan, konsumen merasa kondisi ekonomi saat ini melemah. Selain itu, konsumen merasa kelangkaan lapangan kerja di dalam negeri semakin meningkat.
Pada IKK bulan Juni, persentase konsumen yang merasakan kekhawatiran pada kelangkaan lapangan kerja meningkat dari 32,1 persen pada Mei 2017 menjadi 32,7 persen selama Juni 2017.
Sementara itu, untuk komponen pembentuk IKK Juni 2017 tercatat menurun, yaitu Indeks Situasi Sekarang (ISS) yang turun sebesar 1,3 persen menjadi 78,7 dan Indeks Ekspektasi (IE) yang turun 0,7 persen menjadi 112,9.
"Konsumen memberi penilaian yang lebih buruk terhadap keadaan ekonomi lokal dan ekonomi nasional saat ini. Selain itu, optimisme konsumen melemah pada lapangan kerja dan pendapatan keluarga enam bukan mendatang," ujar Damhuri.
Menurut Ekonom Indef Dzulfian Safrian penurunan daya beli masyarakat kali ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik sisi permintaan (
demand) maupun penawaran (
supply).
Dari sisi
demand, ia mengatakan penyebab pertama adalah tekanan kenaikan biaya hidup yang dialami masyarakat khususnya karena wacana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan juga harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Wacana kenaikan harga BBM dan TDL, saya duga membuat masyarakat menahan diri alias eman-eman mengonsumsi uangnya karena mereka berekspektasi akan terjadi kenaikan biaya hidup yang cukup signifikan dalam dua pos pengeluaran ini," jelasnya.
Selain itu kenaikan dua biaya ini juga membuat masyarakat harus menata ulang pengeluaran mereka sebagai respon kenaikan biaya transportasi dan energi. Terlebih karena pendapatan mereka tidak ikut naik signifikan sehingga tidak ada jalan lain selain berhemat.
"Sepertinya tekanan inflasi paling kuat terjadi di kalangan masyarakat bawah, khususnya yang terkena dampak penyesuaian harga TDL untuk kelas 900 V dan sebagian kelas 450 V" katanya.
Faktor lainnya, ia menduga terdapat perubahan perilaku masyarakat yang mulai beralin belanja menggunakan sistem online ketimbang ke pasar atau toko.
"Alhasil, sebagaimana dilaporkan oleh para bisnis retail terjadi pelemahan yang cukup signifikan dalam penjualan mereka, khususnya selama Lebaran kemarin jika dibanding Lebaran tahun sebelumnya," ujarnya.
Perubahan perilaku ini adalah sinyal kuat yg harus ditangkap pemerintah bagaimana merespon perkembangan digitalisasi ekonomi, khususnya aktivitas ekonomi yang berbasis
online.
"Yang harus dilakukan pemerintah adalah menyediakan segenap peraturan untuk mengatur kompetisi dan berjalannya berbagai bisnis online yang sedang menjamur seperti ini," jelasnya.