Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) memprediksi terdapat tren penurunan Credit Default Swap (CDS) tahun ini. Hal itu seiring dengan predikat layak investasi (
investment grade) yang diperoleh Indonesia dari lembaga pemeringkat kredit internasional, Standard and Poor's (S&P).
Gubernur BI Agus DW Martowardojo menyebutkan, saat ini CDS ada di level 120 basis poin atau separuh dari posisi awal tahun 2016 yang sempat menyentuh level 240 basis poin.
"Yang paling utama membuat CDS turun adalah ketika S&P mengeluarkan investment grade dan persepsi daripada investor tentang Indonesia lebih aman," tutur Agus di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (10/7) kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CDS merupakan kontrak perlindungan bagi kreditur terhadap risiko gagal bayar (
credit default). Pembeli kontrak akan mendapatkan hak memperoleh pembayaran bila terjadi kejadian gagal bayar kredit atau kejadian lain yang terkait kredit seperti restrukturisasi hingga kebangkrutan.
Agus mengungkapkan level CDS Indonesia pernah menyentuh 114 basis poin pada dua minggu lalu. Namun, tekanan aliran modal keluar ke negara maju seiring sinyal positif perekonomian Amerika Serikat (AS) mendorong kenaikan CDS dan membuat nilai tukar rupiah melemah pada beberapa waktu terakhir.
Disebutkan Agus, aliran modal masuk (
capital inflow) per 6 Juli mencapai Rp117 triliun.
"Kami melihat ada
capital outflow di minggu pertama bulan Juli karena ada surat berharga negara yang dijual kira-kira Rp9 triliun dan dari pasar modal Rp2 triliun," jelasnya.
Sementara, berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR), kemarin kurs rupiah ada di level Rp13.408 per dolar AS atau melemah dari posisi 3 Juli, Rp13.325 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan CDS bisa menjadi salah satu indikator investor untuk melihat tren nilai tukar mata uang asing (
forex).
Semakin tinggi CDS suatu negara mencerminkan tingginya risiko kredit suatu negara. Semakin tinggi risiko kredit bakal mendongkrak kompensasi risiko dalam bentuk imbal hasil (
yield) obligasi dan akan merembet pada pelemahan nilai tukar.
Bagi Indonesia, tren penurunan CDS diperkirakan masih berlanjut. Hal itu tidak hanya berasal dari persepsi positif pasca kenaikan rating S&P menjadi BBB- dengan outlook stabil, tetapi juga berasal dari fundamental perekonomian yang baik, volatilitas rupiah yang relatif stabil, sektor riil yang terus melakukan konsolidasi dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL).
"NPL kan masih cukup tertahan, saat ini di level 3,07 persen. Karenanya kami melihat prospek risiko kredit ke depan masih cukup terkendali," ujar Josua.