Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Pasalnya, peraturan itu diprotes karena dinilai memberikan ketidakpastian.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy Noorsamman Sommeng mengatakan, pasal yang dianggap bermasalah itu adalah pasal 8, di mana keadaan kahar yang disebabkan kebijakan pemerintah
(government force majeure) menjadi risiko yang perlu ditanggung badan usaha. Adanya pasal itu, ungkapnya, menyebabkan lembaga pembiayaan sulit menilai kecakapan proyek dari sisi pembiayaan
(bankable)."Di dalam Permen 10 ada yang membuat ketidakpastian. Terutama para
lender, nah para
lender itu
issue-nya adalah apakah ini
bankable atau tidak karena ada klausul yang istilahnya
goverment force majeure," ungkap Andy, Selasa (11/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karenanya, pemerintah akan menghapus ayat mengenai
government force majeure. Pasalnya, sejak awal
beleid diundangkan, pemerintah tidak memberikan kriteria-kriteria yang termasuk ke dalam
government force majeure."Padahal, kalau namanya
government force majeure itu kan harusnya tidak ada pemerintahan. Kalau seperti itu, siapa yang mau bertanggung jawab? Ya itu lucu kan, kalau ada sampai terjadi
chaos, apakah benar-benar berbentuk chaos?" ungkapnya.
Meski demikian, menurutnya Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 harus tetap ada demi membagi risiko
(risk sharing) antara pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dan PT PLN (Persero). Alasannya, di dalam peraturan itu, klausul PPA kini harus mencantumkan denda
delivery or pay, atau denda yang dikenakan terhadap IPP jika pembangkit tak berjalan dengan baik pasca beroperasi
(Commercial Operation Date/COD)."Jadi ini sebagai acuan di dalam perjanjian jual beli listrik. Peraturan ini sebenarnya baik," pungkasnya.
Sebelumnya, klausul mengenai penanggungan risiko
government force majeur ini juga dikeluhkan oleh investor.
Chairman of Legal, Policy Advocacy and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar mengatakan, aturan baru tersebut membuat lembaga pembiayaan tak percaya dengan kemampuan pengembang swasta dalam mengembalikan pinjaman. Temuan ini terkuak ketika anggota METI mencoba mendekati pembiayaan internasional untuk proyek-proyek ketenagalistrikan bertenaga Energi Baru Terbarukan (EBT).
"Di dalamnya ada klausul yang sangat tidak bankable buat perbankan, yaitu risiko
force majeure karena kebijakan pemerintah. Bagaimana bisa, pengembang menanggung risiko dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah?" Jelas Paul beberapa waktu lalu.