Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana besar Presiden Joko Widodo untuk menyediakan 1 juta rumah bagi penduduk Indonesia tahun ini terancam tidak mencapai target.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah, pemotongan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam APBN-P 2017 yang hampir 60 persen dari Rp9,7 triliun menjadi Rp3,1 triliun, dipastikan akan berdampak pada target pencapaian program 1 juta rumah di tahun 2017 untuk program KPR Bersubsidi.
Rusli mengatakan, jika mengacu pada rencana Kerja Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR tahun ini, maka pemerintah menargetkan bisa menyediakan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebanyak 600 ribu unit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rinciannya, 225 ribu unit rumah disiapkan melalui skema subsidi selisih bunga (SSB) dan 375 ribu unit melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP KPR).
Namun akibat pemotongan anggaran, jumlah rumah yang dapat dibangun hanya menjadi 270 ribu unit yang terdiri dari 239 ribu unit melalui skema SSB dan sisanya 40 ribu unit melalui KPR FLPP. Skema SSB meningkat 14 ribu unit, sedangkan skema FLPP KPR turun drastis sebesar 335 ribu unit.
"Pemotongan anggaran ini pasti akan berimplikasi pada gagalnya pencapaian program 1 juta rumah tahun 2017 yang sebanyak 700 ribu untuk MBR. Apabila skema rumah subsidi menjadi 270, ribu maka pencapaian program 1 juta rumah 2017 untuk MBR akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan 2016 yang mencapai 569.382 rumah MBR," ujar Rusli kepada CNNIndonesia.com, Kamis (13/7).
Ia menekankan, pemerintah perlu mereformulasi ulang skema program 1 juta rumah dengan mengacu pada fakta keterbatasan anggaran pemerintah.
Jika melihat pada tahun sebelumya, pada tahun 2015 dibutuhkan anggaran Rp1.620 triliun untuk memenuhi kebutuhan perumahan MBR. Angka tersebut kurang lebih mencapai 80 persen dari angka APBN 2016 Indonesia yang berkisar di angka sekitar Rp2.000 triliun.
Besaran dana tersebut digunakan untuk membangun 8,1 juta rumah MBR yang pada tahun 2015 dengan asumsi harga rumah KPR Rp200 juta per unitnya.
"Sebuah angka yang sangat tidak mungkin dikejar oleh Pemerintah dengan keadaan keuangan pemerintah saat ini," ujarnya.
Reformulasi ulang tersebut menurutnya juga harus diikuti dengan perubahan pola pikir pemerintah dalam menyediakan hunian kepada warganya.
Ia menilai penyediaan rumah atau hunian sementara (
bridging house) bagi masyarakat golongan MBR bisa menjadi salah satu kunci untuk mengatasi kesenjangan jumlah penduduk dengan kepemilikan rumah (
backlog) yang ada pada saat ini.
Hunian sewa sementara ini dapat dipatok dengan harga sewa berada di bawah harga sewa pasar, dengan harapan MBR bisa memenuhi kebutuhan perumahan yang layak.
"Selama berada di hunian sewa sementara, pemerintah kan bisa memberikan peningkatan pendidikan pengalaman atau kecakapan kepada para penghuni hunian sewa melalui penciptaan lingkungan usaha yang sehat, agar bisa meningkatkan kapasitas individu ekonominya," jelasnya.
Sejalan dengan itu, pemerintah disarankan perlu menggaet pihak swasta maupun perusahaan BUMN melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk menyediakan lingkungan sosial ekonomi baru yang dapat menampung para penghuni hunian sewa sementara. Hal ini juga bertujuan untuk meredistribusi penduduk dari pusat kota ke daerah-daerah penyangga atau daerah pusat pertumbuhan baru.
Ia menambahkan pembangunan hunian sewa sementara pun bisa dilakukan dengan menggunakan aset-aset yang mangkrak milik pemerintah pusat atau provinsi seperti tanah.
"Hal ini secara tidak langsung akan mereduksi biaya lahan yang menjadi salah satu komponen besar dalam pembangunan hunian di tengah keterbatasan anggaran pemerintah," katanya.