DPR dan Pemerintah 'Debat Kusir' Terkait Perppu AEoI

Yuliyanna Fauzi | CNN Indonesia
Selasa, 18 Jul 2017 09:55 WIB
DPR mempermasalahkan pelaksanaan AEoI setelah pengampunan pajak. Hal ini disinyalir sebagai upaya pemutihan terhadap wajib pajak.
DPR mempermasalahkan pelaksanaan AEoI setelah pengampunan pajak. Hal ini disinyalir sebagai upaya pemutihan terhadap wajib pajak. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa).
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperdebatkan tujuan pelaksanaan sistem keterbukaan dan pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI) yang dilandasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Pemeriksaan Pajak.

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo berpendapat, seharusnya, pemerintah mengajukan lebih dulu rencana untuk melangsungkan AEoI sebelum menggelar program pengampunan pajak (tax amnesty) yang sudah rampung pada akhir Maret 2017 lalu.
Pelaksanaan AEoI setelah tax amnesty disinyalir sebagai upaya pemutihan terhadap para wajib pajak yang telah melakukan penghindaran kewajiban pajaknya.

Padahal, ia menilai, pemerintah bisa mengungkap seluruh harta dan penghindaran pajak yang cenderung dilakukan wajib pajak melalui AEoI, terutama mereka yang menyimpan harta dan bisnisnya di luar negeri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kenapa tidak diprioritaskan? Jangan-jangan Indonesia tidak butuh amnesti pajak waktu itu kalau ini sudah diajukan lebih dulu?" ujar Andreas, kemarin.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, penerbitan Perppu dalam rangka AEoI memang telah direncanakan pemerintah sebelum melakukan tax amnesty. Namun, pelaksanaan tax amnesty tetap perlu dilakukan pemerintah demi menggenjot kepatuhan dan penerimaan pajak tahun lalu.

Di saat bersamaan, pemerintah menemukan kekurangan (shortfall) penerimaan pajak yang cukup tinggi, namun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 tak mungkin hanya ditutup melalui pembiayaan utang. Sebab, pemerintah turut menjaga defisit anggaran.

"Penerimaan pajak (2016) direvisi jadi 86 persen, tetapi realisasinya hanya 83,5 persen. Itu pun sudah termasuk tax amnesty. Kalau tidak ada tax amnesty, maka penerimaan pajak hanya 75 persen. Ini kegentingan dan jadi perhatian kami," kata Sri Mulyani.

Belum lagi, pemerintah harus menyusun APBNP dan turut menyiapkan pelaksanaan tax amnesty, sehingga persiapan Perppu AEoI menjadi sedikit tertunda. Sementara, tahun ini merupakan batas waktu pemenuhan syarat keikutsertaan Indonesia dan Perppu perlu segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU).

Pengamat Perpajakan dari CITA Yustinus Prastowo menilai, langkah pemerintah memang terbilang mendadak. Namun, sejatinya, program pengampunan pajak dan pelaksanaan AEoI merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Sebab, AEoI memang perlu dilakukan sebagai bentuk tindak lanjut dari tax amnesty.

"AEoI dan tax amnesty memang harus ada. Justru ini saling mendukung karena orang yang sudah ikut tax amnesty bisa kembali menghindar dari kewajibannya bila tak ada kontrol selayaknya fungsi AEoI nanti," imbuh Yustinus kepada CNNIndonesia.com.

Adapun, permasalahan mendesaknya persetujuan Perppu agar sah menjadi UU, menurut Yustinus, bergantung pada komunikasi pemerintah dengan DPR. Namun, ia optimistis, Perppu ini akan segera mendapat persetujuan DPR, selaku wakil rakyat, mengingat fungsinya yang besar pada negara. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER