Tebar Insentif Bisnis Migas, Pemerintah Yakin Dapat Lebih

CNN Indonesia
Rabu, 19 Jul 2017 17:08 WIB
Pemerintah menilai hal itu bersifat sementara dan akan menuai penerimaan negara dan cadangan yang lebih banyak, hasil dari pemberian insentif.
Pemerintah menilai hal itu bersifat sementara dan akan menuai penerimaan negara dan cadangan yang lebih banyak, hasil dari pemberian insentif. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menyatakan rela menelan penurunan penerimaan negara setelah menebar berbagai insentif fiskal di bidang hulu migas. Sebab, pemerintah menilai hal itu bersifat sementara dan akan menuai penerimaan negara dan cadangan yang lebih banyak, hasil dari pemberian insentif.

Insentif fiskal bagi sektor hulu migas tercantum di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 yang terbit tanggal 19 Juni 2017 silam. Di dalam aturan tersebut, pemerintah membebaskan seluruh kewajiban fiskal selama masa eksplorasi dan sebagian kewajiban fasilitas ketika masa eksplorasi.

Beberapa kewajiban perpajakan yang dibebaskan antara lain adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor, hingga pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bahkan, untuk masa eksploitasi, pemotongan PBB bisa mencapai 100 persen sesuai diskresi Menteri Keuangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Yunirwansyah mengatakan, tentu saja akan ada penurunan penerimaan negara akibat pembebasan pajak ini. Sayangnya, ia tak mau menyebut jumlah potensi kehilangan penerimaan pajak (potential loss) dari pemberlakuan kebijakan ini.

"Kami tentu punya hitung-hitungan mengenai penerimaan dari jenis pajak-pajak ini, namun saat ini tidak relevan untuk membicarakan angka tersebut. Yang pasti, kami melihat banyak multiplier effect yang tercipta dengan pemberian insentif ini," kata Yunirwansyah di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (19/7).

Menurutnya, DJP tidak melulu memandang insentif ini dari sisi pengurangan penerimaan. Pasalnya, dalam mengambil kebijakan, DJP harus melihat dari dua sisi yaitu sisi anggaran dan regulasi.

Dari sisi anggaran, tentu saja DJP perlu mencari cara agar penerimaan negara bisa bertambah. Namun, jika dilihat dari segi regulasi, kebijakan yang ditempuh juga harus bisa diakomodasi oleh dunia usaha.

Apalagi sebenarnya, pengguyuran insentif ini sendiri pun merupakan inisiatif pelaku usaha yang ingin agar investasinya lancar. Yunirwansyah bilang, pelaku sektor migas sebelumnya sering mengeluhkan banyaknya pembebanan pajak pada masa eksplorasi.

Selain itu, pelaku usaha migas juga kerap membandingkan rezim pasca PP Nomor 79 Tahun 2010 dengan rezim sebelumnya, di mana pembebasan perpajakan yang berkaitan dengan eksplorasi migas (assume and discharge) masih diberlakukan.

"Menurut investor, kondisi yang terjadi saat ini dianggap tidak menarik minat investasi. Sehingga, setelah kami berikan insentif ini, kami ingin tahu. Apakah investasi hulu migas benar-benar meningkat," imbuhnya.

Selain masalah itu, pemberian insentif diberikan karena pemerintah sadar bahwa posisi sektor Indonesia di Asia Tenggara tidak begitu bagus dibanding negara lainnya.

Saat ini, rasio kesuksesan eksplorasi migas di Indonesia hanya di bawah 40 persen, atau lebih rendah dibanding Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam yang angkanya lebih dari 40 persen. Jika tidak dirangsang, tentu saja angka ini akan memburuk di kemudian hari.

"Makanya kami sesuaikan kebijakan yang tentu bisa meningkatkan keekonomian proyek migas. Kalau sudah begitu, tentu saja kami harapkan ada penerimaan lebih nantinya," pungkasnya.

Sebagai informasi, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebanyak Rp1.498,9 triliun di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Angka ini lebih besar 35,64 persen dibanding realisasi tahun lalu Rp1.105 triliun.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER