Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menepis anggapan terkait penurunan daya beli masyarakat yang kerap dikeluhkan pada pengusaha di sektor industri ritel pada sepanjang semester pertama tahun ini.
Kepala BKF Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan, daya beli masyarakat tak menurun lantaran laba bersih kebanyakan emiten yang melantai di bursa saham justru meningkat pada paruh pertama tahun ini dibandingkan tahun lalu. Penurunan penualan yang dirasakan beberapa pelaku ritel pun disebut tak hanya disebabkan penurunan daya beli masyarakat.
"Kemarin kami lihat data-data emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), pendapatannya naik semester I 2017. Transaksinya naik. Karena ritel itu bukan hanya satu dari segala macam sektor di perekonomian," ujar Suahasil di kantornya, Senin (31/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencontohkan, dalam data laba bersih beberapa emiten di bursa saham yang dihimpunnya tercatat, misalnya untuk emiten di sektor keuangan, yaitu PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau berkode BMRI membukukan laba bersih sebesar Rp9,46 triliun pada semester I 2017 atau meningkat dibandingkan semester I 2016 sebesar Rp7,08 triliun.
Lalu, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mampu mengantongi laba bersih mencapai Rp10,5 triliun sepanjang Januari-Juni 2017, meningkat dibandingkan Januari-Juni 2016 sebesar Rp9,52 triliun.
Kemudian, emiten di sektor barang konsumsi, misalnya PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) laba bersihnya tercatat tumbuh tipis, dari Rp2,23 triliun menjadi Rp2,27 triliun. Demikian pula dengan PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO) yang menjadi produsen air mineral dalam kemasan bermerk Cleo, berhasil mendulang laba bersih Rp17,3 miliar dari sebelumnya Rp16,7 miliar.
Selanjutnya, di sektor properti, PT Intiland Development Tbk (DILD) mengantongi peningkatan laba bersih dari Rp150 miliar menjadi Rp187 miliar dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau berkode PTPP meraup laba bersih mencapai Rp572 miliar dari sebelumnya Rp355 miliar.
Sementara itu, dari sektor ritel, laba bersih PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) meningkat dari Rp238 miliar pada semester I 2016 menjadi Rp328 miliar pada semester I 2017.
Dengan data tersebut, sambung Suahasil, terlihat penjualan barang atau jasa yang dilakukan perusahaan tetap mendapat permintaan yang besar dari pasar dan transaksi meningkat.
Selain korelasi itu, tak adanya penurunan daya beli juga terlihat dari peningkatan realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) semester I 2017 yang naik 13,5 persen secara tahunan
(year-on-year/yoy) dibandingkan semester I 2016.
"Artinya transaksi naik. Tidak mungkin PPN muncul kalau tidak ada transaksinya. Jadi, lihatnya jangan satu atau dua sektor saja. PPN total itu bukan hanya ritel saja tapi keseluruhan sektor naik," jelas Suahasil.
Sedangkan, dari sisi makro, Suahasil bilang bahwa penurunan daya beli juga tak terjadi lantaran indikator inflasi diklaimnya cukup terjaga sebesar 2,38 persen secara tahun berjalan
(year-to-date/ytd) dari Januari-Juni 2017 dan pertumbuhan ekonomi sampai kuartal I 2017 yang masih dikisaran 5,01 persen.
"Penanganan inflasi kami rasa yang terbaik selama bulan puasa. Berarti pemerintah bisa menjaga daya beli. Ke depan, dengan tren penurunan inflasi ini, trennya kami yakin turun, berarti daya beli masyarakat kita jaga lagi ke depan," jelas Suahasil.
Kendati demikian, Suahasi mengaku pihaknya tengah menganalisis perubahan perilaku masyarakat yang diduga menahan belanja. Bersamaan dengan itu, pihaknya juga mengkaji adanya perubahan perilaku pembelian barang secara langsung
(offline) di toko-toko menjadi secara tidak langsung
(online) melalui situs penjual barang.
"Jangan-jangan ini perubahan perilaku dari belanja
on site, jadi lebih ke belanja online. Ini kami cari juga buktinya," katanya.
Di sisi lain, pemerintah menurut dia, tetap berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga realisasi perencanaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017.
"Menteri Keuangan katakan, ketika potong anggaran, diharapkan sudah berhasil membuat APBN yang lebih kredibel dan APBN itu basis dari kepercayaan pemerintah dari sisi konsumsi dan investasi," pungkasnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan, pertumbuhan penjualan ritel terbilang stagnan sejak semester I lalu dan akan berlanjut pada semester II ini.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengungkapkan, ada beberapa faktor yang membuat penjualan ritel lesu, yaitu perubahan perilaku belanja masyarakat dari offline ke online, masyarakat cenderung menahan belanja, dan pengaruh inflasi tinggi di semester I lalu.
"Jadi, mereka datang ke mal ramai tapi keranjang belanjanya kecil, belanjanya kecil," kata Roy.