Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan berharap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dapat mengurangi kewajiban fiskal yang diemban oleh pengembang listrik swasta
(Independent Power Producer/IPP) yang berinvestasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Langkah ini, dimaksudkan agar investor tertarik, sehingga target bauran energi di bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa tercapai.
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero), tenaga listrik dari EBT diperkirakan mengambil porsi 22,4 persen dari bauran energi di tahun 2026 mendatang. Angka ini meningkat drastis dibanding posisi akhir 2016 sebesar 11,4 persen.
“Kami berharap ada dukungan dari sektor lain, terutama dari stakeholder Kementerian Keuangan untuk bisa mengurangi atau mereduksi biaya masuk atau pajak-pajak lain demi pengembangan EBT, khususnya geotermal,” ungkap Jonan di Jakarta Convention Center, Rabu (2/12).
Ia melanjutkan, dukungan fiskal sangat penting karena potensi panas bumi di Indonesia sangat menjanjikan. Menurutnya, Indonesia memiliki kemampuan menghasilkan listrik sebesar 29.554 Megawatt (MW) dari tenaga panas bumi saja. Sehingga, tak heran jika panas bumi menjadi salah satu tumpuan pemerintah untuk mendukung target EBT di bauran energi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Namun di sisi lain, untuk Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang sudah produksi akan didorong terus dan pemerintah akan tetap mempertimbangkan harga keekonomian yang fair bagi pengguna dan produsen,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Poernomo menjelaskan, sebenarnya Kemenkeu sudah banyak memberikan keringanan fiskal terkait pengembangan panas bumi. Sebagai contoh, pemerintah telah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada masa eksplorasi dan bea masuk untuk peralatan berat. Meski demikian, ia mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang Pajak Penghasilan (PPh) badan terkait proyek tersebut.
Pasalnya, PPh badan yang ditangung saat ini dianggap masih tinggi, yakni 25 persen. “Apakah mungkin ini bisa dipelajari bersama? Kami pun sudah berbicara dengan Kementerian Keuangan kemarin terkait hal ini,” papar Abadi.