Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar bahwa daya beli masyarakat melemah tidak sepenuhnya benar. Buktinya, kinerja emiten ritel sepanjang semester I 2017 rata-rata masih positif, baik dari segi pendapatan maupun laba bersih.
Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya mengungkapkan, daya beli masyarakat masih tumbuh dan tidak turun seperti opini yang berkembang belakangan ini. Namun, memang terjadi perubahan pola konsumsi dari konvensional menjadi digital.
"Daya beli itu tidak turun, buktinya emiten ritel ada pertumbuhan. Sebenarnya orang tetap belanja tapi memang tidak ke toko, mereka belanja melalui toko daring," kata Christine kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (4/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati ada peralihan, rata-rata emiten ritel masih mencatatkan pertumbuhan double digit di paruh pertama ini. Bahkan, khusus PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) sendiri berhasil melonjak hingga raturan persen.
Terpantau, laba bersih perusahaan semester I 2017 naik hingga 278 persen menjadi Rp175,02 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp46,3 miliar. Padahal, pendapatannya hanya naik 15,76 persen dari Rp6,66 triliun menjadi Rp7,71 triliun.
Kemudian, pertumbuhan kinerja diikuti oleh PT Hero Supermarket Tbk (HERO) dengan kenaikan laba bersih sebesar 258,69 persen menjadi Rp71,38 miliar. Padahal, pendapatan perusahaan turun 3,88 persen dari Rp7,2 triliun menjadi Rp6,92 triliun.
Selanjutnya, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Perusahaan meraup laba bersih sebesar Rp368,77 miliar, atau naik 45,15 persen dari sebelumnya Rp254,05 miliar. Hal ini didorong oleh pendapatan perusahaan yang mengalami kenaikan 9,84 persen menjadi Rp3,46 triliun dari sebelumnya Rp3,15 triliun.
Sementara itu, laba bersih PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) tercatat tumbuh 37,64 persen menjadi Rp328,09 miliar dan PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI) naik 7,85 persen menjadi Rp34,32 miliar.
Sayangnya, laba bersih induk usaha dari Midi Utama, yakni PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) turun 16,38 persen. Sementara, emiten lainnya, PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) anjlok 71,03 persen. Kondisi ini terjadi ditengah pendapatan perusahaan yang tercatat positif.
 Ilustrasi kinerja keuangan. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Menurut Christine, kenaikan sebagian besar kinerja emiten ritel ini didorong oleh penjualan selama Ramadan dan Lebaran yang terjadi pada bulan Juni dan Juli. Sehingga, kontribusi terbesar penjualan semester I ini berasal dari penjualan kuartal II.
"Kuartal I bisa dibilang jelek, tidak ada yang belanja mungkin karena banyak yang ikut program pengampunan pajak (
tax amnesty) ya. Jadi pas kuartal kedua langsung naik," papar Christine.
Adapun, pembukaan gerai yang dilakukan oleh perusahaan ritel juga berdampak positif bagi penjualan tiap bulannya. Pasalnya, masyarakat akan semakin mudah untuk mendapatkan barang dengan pertambahan gerai tersebut.
"Kemudian, nilai tukar rupiah yang stabil juga jadi pendorong masyarakat belanja. Nilai tukar rupiah stabil dua tahun ini, sekitar level itu (Rp13.000) saja, tidak Rp14.000 atau Rp15.000," jelasnya.
Senada, analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan, kinerja keuangan emiten ritel menunjukan masih adanya daya beli masyarakat yang cukup tinggi pada semester I tahun ini.
Namun, ia tidak menapik jika masyarakat kini lebih selektif untuk membelanjakan uangnya. Sehingga, jumlah dana yang dibelanjakan tidak sebanyak biasanya. Pasalnya, masyarakat yang terbiasa belanja di toko premium mulai beralih ke toko kecil.
Terkait adanya penurunan laba bersih yang menimpa Sumber Alfaria, jelas Reza, hal itu disebabkan adanya kenaikan beban perusahaan. Bila dilihat, beban pokok penjualan perusahaan memang tumbuh 12,68 persen menjadi Rp24,61 triliun dari Rp21,84 triliun.
"Kalau beban meningkat ini kan menunjukan adanya aktifitas mereka ya tinggi. Nah, asumsinya kalau aktifitas tinggi artinya perusahaan masih beroperasi," terang Reza.
Kendati mayoritas emiten ritel mengalami pertumbuhan pendapatan dan penjualan, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat adanya penurunan dari pertumbuhan industri ritel sepanjang semester I 2017 ini."Semester I tahun ini menurut analisa kami hanya tumbuh 3,7 persen, di mana kuartal I tumbuh 3,9 persen dan kuartal II 3,5 persen. Sedangkan semester I tahun lalu 11,2 persen," ucap Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey.
Kondisi ini mengindikasikan adanya penurunan daya beli masyarakat. Pasalnya, semangat belanja masyarakat tidak bertahan di level yang sama seperti tahun lalu atau pertumbuhannya menurun."Kondisi ini disebut sebagai anomali daya beli masyarakat Indonesia," pungkas Roy.Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan, apa yang terjadi saat ini sebenarnya bukan hanya dari sisi daya beli yang melemah, tapi juga tingkat konsumsi.Artinya, bukan hanya kapasitas untuk membeli barang yang turun, tetapi juga masyarakat yang memiliki uang lebih memilih menyimpan uangnya di tabungan."Daya beli biasanya dilihat dari upah, kemudian tingkat konsumsi turun karena adanya kekhawatiran Jadi misalnya ada kebijakan pemerintah yang agresif sehingga menggerogoti daya beli," ujar Faisal.
Salah satu kebijakan yang menjadi fokus masyarakat, yakni terkait pajak. Misalnya saja, kebijakan pemerintah yang dapat mengintip dengan leluasa rekening nasabah lembaga jasa keuangan. Tak lama setelah kebijakan itu disahkan, pemerintah mulai menggaungkan kembali wacana kebijakan penurunan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). "Pemerintah seperti beruntun mengejar pajak, rekening nasabah bisa diakses kemudian PTKP mau diturunkan, lalu cukai diperluas. Ini dilakukan secara terus menerus jadi orang semakin khawatir tiba-tiba nanti dia bayar pajak tinggi, jadi lebih pilih menabung dulu sekarang," papar Faisal. Adapun, Christine memprediksi, penjualan emiten ritel pada semester II tidak akan lebih baik dibandingkan dengan semester I. Hal ini disebabkan tidak ada momentum yang dapat mendorong penjualan ritel secara signifikan.
"Jadi untuk
double digit tidak mungkin, karena kan semester I ada Lebaran. Kalau natal di semester II tidak terlalu besar," kata Christine.
Kendati demikian, ia tetap optimistis kinerja emiten ritel tetap akan tumbuh hingga akhir tahun ini. Sehingga, pelaku pasar direkomenasikan untuk tetap mempertahankan kepemilikan sahamnya di emiten ritel.
"Jadi netral saja," imbuhnya.
Sementara, Faisal menilai, penurunan tingkat konsumsi masih akan terjadi pada semester II ini. Menurutnya, pemerintah perlu memberikan stimulus untuk menggenjot daya beli masyarakat, seperti menurunkan tingkat suku bunga.
"Suku bunga ini tidak diturunkan tahun ini, padahal momentumnya ada. Kalau tidak diturunkan, bank tidak memiliki stimulus untuk menurunkan kredit ke sektor riil," ucap Faisal.
Selain stimulus, pemerintah juga perlu memberikan kepastian kepada masyarakat agar mereka mau membelanjakan uangnya kembali. Bila masyarakat sudah kembali percaya dengan kondisi ekonomi dalam negeri, maka masyarakat tidak akan menahan konsumsinya seperti saat ini.
Dari sisi pengusaha sendiri, Roy masih berharap industri ritel dapat tumbuh 9 persen pada akhir tahun ini atau sama seperti pertumbuhan akhir tahun lalu. Hanya saja, ia mengakui, hal itu sulit diwujudkan jika tidak ada stimulus dari pemerintah.
"Kalau tidak ada perkembangan global dan stimulus pemerintah diperkirakan pertumbuhan ritel 2017 hanya 6 persen-7 persen," pungkas Roy.