Kendati mayoritas emiten ritel mengalami pertumbuhan pendapatan dan penjualan, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat adanya penurunan dari pertumbuhan industri ritel sepanjang semester I 2017 ini."Semester I tahun ini menurut analisa kami hanya tumbuh 3,7 persen, di mana kuartal I tumbuh 3,9 persen dan kuartal II 3,5 persen. Sedangkan semester I tahun lalu 11,2 persen," ucap Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey.
Kondisi ini mengindikasikan adanya penurunan daya beli masyarakat. Pasalnya, semangat belanja masyarakat tidak bertahan di level yang sama seperti tahun lalu atau pertumbuhannya menurun."Kondisi ini disebut sebagai anomali daya beli masyarakat Indonesia," pungkas Roy.Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan, apa yang terjadi saat ini sebenarnya bukan hanya dari sisi daya beli yang melemah, tapi juga tingkat konsumsi.Artinya, bukan hanya kapasitas untuk membeli barang yang turun, tetapi juga masyarakat yang memiliki uang lebih memilih menyimpan uangnya di tabungan."Daya beli biasanya dilihat dari upah, kemudian tingkat konsumsi turun karena adanya kekhawatiran Jadi misalnya ada kebijakan pemerintah yang agresif sehingga menggerogoti daya beli," ujar Faisal.
Salah satu kebijakan yang menjadi fokus masyarakat, yakni terkait pajak. Misalnya saja, kebijakan pemerintah yang dapat mengintip dengan leluasa rekening nasabah lembaga jasa keuangan. Tak lama setelah kebijakan itu disahkan, pemerintah mulai menggaungkan kembali wacana kebijakan penurunan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). "Pemerintah seperti beruntun mengejar pajak, rekening nasabah bisa diakses kemudian PTKP mau diturunkan, lalu cukai diperluas. Ini dilakukan secara terus menerus jadi orang semakin khawatir tiba-tiba nanti dia bayar pajak tinggi, jadi lebih pilih menabung dulu sekarang," papar Faisal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT