Jakarta, CNN Indonesia -- Kenaikan anggaran belanja pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sukses membuat indeks sektor barang konsumsi melonjak hingga 6,35 persen pekan lalu.
Padahal, dua pekan sebelumnya indeks sektor tersebut terus terkoreksi akibat pelemahan daya beli masyarakat pada semester I 2017.
Pelemahan itu terlihat dari data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang mencatat pertumbuhan penjualan ritel secara industri turun menjadi 3,7 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 11,2 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beruntung, pasar mulai berpikir positif terkait ekonomi Indonesia tahun depan seiring dengan sikap optimis pemerintah. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks sektor barang konsumsi melejit ke level 2.518,118.
Sementara, dua pekan lalu sektor barang konsumsi masih berada di level 2.406,220 dan kembali melemah pada pekan selanjutnya ke level 2.367,872.
Analis Recapital Sekuritas Kiswoyo Adi Joe mengatakan, keputusan pemerintah yang kembali menaikan anggaran untuk infrastruktur menjadi perhatian pasar. Meski memang, pertumbuhannya terbilang tipis hanya 5,6 persen menjadi Rp409 triliun dari alokasi tahun ini sebesar Rp387,7 triliun.
Namun, kenaikan anggaran infrastruktur menjadi bukti pemerintah tetap fokus untuk menyelesaikan berbagai proyek yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangan Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
"Proyek infrastruktur kan padat karya, jadi butuh banyak sumber daya manusia (SDM). Nantinya jadi banyak tukang," ucap Kiswoyo kepada
CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Dengan begitu, tingkat konsumsi masyarakat juga akan bertambah tahun depan. Pasalnya, jumlah masyarakat yang bekerja akan meningkat dan jumlah pengangguran menurun.
Jika tingkat konsumsi meningkat, maka target pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga ke level 5,4 persen pada tahun depan akan semakin mudah terwujud.
Di sisi lain, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, tidak hanya belanja infrastruktur yang dapat menaikan daya beli masyarakat. Jumlah subsidi yang diberikan pemerintah juga akan memperbaiki kemampuan konsumsi masyarakat.
"Dengan subsidi semestinya ada kontribusi belanja konsumsi dari kelas menengah ke bawah," ucap Faisal.
Dalam RAPBN 2018, jumlah belanja pemerintah yang dialokasikan untuk subsidi energi sebesar Rp103,36 triliun, naik 15 persen dari proyeksi 2017 Rp89,86 triliun. Sementara, alokasi subsidi non energi diturunkan 12,65 persen dari Rp79,01 triliun menjadi Rp69,03 triliun.
Namun begitu, hal ini tidak serta merta menaikan daya beli secara signifikan. Target penerimaan pemerintah yang dinaikan sebesar 8,2 persen menjadi Rp1.878,4 triliun dari APBNP 2017 Rp1.736,1 triliun secara tidak langsung sedikit meresahkan kelas menengah dan kelas menengah ke atas.
Masalahnya, jelas Faisal, penerimaan pajak merupakan salah satu pendapatan negara. Dengan demikian, ada kekhawatiran dari kelas menengah dan menengah ke atas pihak perpajakan akan lebih agresif demi meningkatkan penerimaan.
"Ini bisa membuat kelas menengah menahan belanja," pungkas Faisal.
Pengamat pasar modal dari Buana Capital Suria Dharma menerangkan, kenaikan indeks sektor barang konsumsi ini imbas dari peningkatan kinerja saham berkapitalisasi besar (
big capitalization). Dalam hal ini, ada beberapa saham barang konsumsi yang masuk dalam 10 emiten dengan kapitalisasi terbesar.
Beberapa saham tersebut, yakni PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Pada perdagangan Jumat (18/8) lalu, nilai kapitalisasi pasar Sampoerna di level Rp435,02 triliun, kemudian Unilever Indonesia Rp377,49 triliun, dan 142,37 triliun.
"Pada Rabu (16/8) kemarin, ada rumor Moody's mau meningkatkan peringkat Indonesia, jadi ini ada antisipasi saham berkapitalisasi besar naik," ucap Suria.
Dengan kata lain, pelaku pasar langsung memanfaatkan momentum rumor tersebut untuk masuk kembali ke saham berbasis barang konsumsi. Nantinya, kenaikan saham berkapitalisasi besar juga akan diikuti kenaikan saham lapis kedua (
second liner).
Sepanjang pekan lalu harga saham Sampoerna tumbuh hingga 10,65 persen ke level Rp3.740 per saham, kemudian, Unilever Indonesia naik 2,53 persen ke level Rp49.475 per saham, dan Gudang Garam tembus ke level Rp74 ribu per saham atau meningkat 10,77 persen.
Menurut Kiswoyo, pergerakan indeks sektor barang konsumsi umumnya akan sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Hal ini disebabkan, sektor tersebut menjadi pendorong IHSG nomor dua setelah sektor perbankan.
"Jadi 30 persen penyokong IHSG dari perbankan, nah barang konsumsi sekiar 15 persen-20 persen," terang Kiswoyo.
Sementara, saham berbasis perbankan dinilai sudah mahal saat ini. Alhasil, mayoritas pelaku pasar lebih banyak mengincar saham barang konsumsi untuk masuk ke saham berkapitalisasi besar.
 (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani) |
Di sisi lain, pelaku pasar diproyeksi melakukan aksi ambil untung (profit taking) pada pekan ini. Pasalnya, bukan hanya sektor barang konsumsi yang melonjak, melainkan juga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Indeks naik cukup signifikan sepanjang pekan lalu sebesar 2,21 persen ke level 5.893. Padahal, pekan sebelumnya IHSG terkoreksi 0,19 persen.
"IHSG mendekati level resistance-nya, ini rentan turun. Kalau IHSG turun maka indeks sektor barang konsumsi ikut turun," jelas Kiswoyo.
Tak hanya IHSG, beberapa harga saham barang konsumsi juga telah mendekati harga wajar. Misalnya saja, HMSP dengan harga wajar di level Rp4.000 per saham dan Unilever Indonesia Rp50 ribu per saham.
"Ini agak rentan karena sudah sedikit lagi mencapai harga wajar," imbuhnya.
Untuk itu, ia tak menyarankan pelaku pasar untuk melakukan aksi beli pada saham barang konsumsi pada pekan ini. Sementara, bagi pemilik saham barang konsumsi disarankan untuk segera menjualnya sebelum ada koreksi yang cukup signifikan.