ANALISIS

Waspada Terjebak dalam Kelompok Negara Kelas Menengah

CNN Indonesia
Jumat, 25 Agu 2017 13:00 WIB
Untuk ukuran negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dirasa minim untuk menuju negara maju.
Untuk ukuran negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dirasa minim untuk menuju negara maju. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --
Data Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita IndonesiaFoto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi
Data Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita Indonesia
Indonesia kerap disebut sebagai negara menjanjikan. Secara kasat mata, dunia memandang Indonesia memiliki prestasi yang mumpuni sebagai negara berkembang. Bahkan, dengan angka 5,02 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara 20 negara yang punya ukuran ekonomi terbesar, atau kerap disebut G-20.

Meski menuai prestasi, perekonomian Indonesia ternyata menyimpan permasalahan tersendiri. Untuk ukuran negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dirasa minim untuk menuju negara maju. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terbilang mengalami stagnasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di tahun 2013 sempat mencapai 5,58 persen dan merosot ke angka 5,02 persen di tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi lalu menurun lagi ke angka 4,79 persen di tahun 2015, sebelum menguat lagi di angka 5,02 persen tahun berikutnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Implikasinya, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pun tak bergerak secara signifikan. Menurut data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia di tahun lalu tercatat US$3.570 atau hanya meningkat 14,68 persen dibanding enam tahun sebelumnya yakni US$3.113.

Dengan demikian, artinya Indonesia masih punya langkah yang sangat jauh untuk menjadi negara maju. Adapun menurut Bank Dunia, negara maju adalah negara dengan pendapatan per kapita (GNI per capita) di angka US$12.236. Dengan PDB per kapita saat ini, Indonesia harus meningkatkan empat kali pendapatannya agar bisa masuk jajaran negara bergengsi.

Jika hal ini tidak tercapai, maka Indonesia rentan terjebak sebagai negara berpendapatan menengah, atau middle income trap. Dengan demikian, Indonesia selamanya tak akan bisa menjadi negara maju.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengakui, Indonesia kini masuk kategori waspada middle income trap. Ia mengatakan, Indonesia sebetulnya sudah masuk negara berpendapatan menengah di dekade 1990an, namun masih belum lepas landas dalam kurun 20 tahun kemudian akibat gejolak eksternal, seperti krisis moneter tahun 1998.

Meski demikian, Bambang menyebut bahwa Indonesia bisa keluar dari jeratan middle income trap di tahun 2038 dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen per tahun. Sayang, ia menilai itu terlalu lama. Indonesia menurut dia, bisa keluar dari middle income trap di tahun 2030 asal pertumbuhan ekonominya konstan 6,5 persen per tahun.

"Kalau pertumbuhan 5 persen per tahun, ini artinya tidak ada terobosan. Tapi, dengan pertumbuhan itu, posisi Indonesia secara besaran PDB di tahun 2045 bisa menduduki posisi 8 besar dunia. Di sisi lain, kalau pertumbuhan 6,5 persen maka Indonesia bisa jadi lima besar kekuatan ekonomi dunia," kata Bambang.

Di sisi lain, Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Mohammad Faisal menuturkan, Indonesia perlu serius mengatasi kemungkinan masuk dalam middle income trap. Pasalnya, Indonesia dianggap memiliki modal sumber daya yang mumpuni agar bisa menjadi negara maju. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jalan di tempat dengan keberadaan sumber daya melimpah, bisa dibilang perekonomian Indonesia memiliki masalah kronis.

"Pertumbuhan negara berkembang ini rata-rata sangat cepat, tengok saja India. Kalau tidak bergegas, bisa-bisa Indonesia disalip negara lain. Maka dari itu, memang dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap," tambah Faisal.

Meski begitu, ia menilai angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen tak cukup. Ia tetap mengacu pada sugesti Bank Dunia, di mana pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun dibutuhkan untuk menjadi negara maju. Untuk mempercepat hal tersebut, maka porsi sektor manufaktur di dalam PDB harus ditingkatkan. Sebab, manufaktur dianggap memiliki nilai tambah serta bisa menciptakan efek pengganda yang besar.

"Kenapa manufaktur? Karena pengalaman sukses yang naik kelas dari middle income ke high income adalah dengan industri manufaktur. Nilai tambahnya sangat luar biasa, karena bisa memproses bahan baku menjadi suatu barang yang bernilai tinggi," terang Faisal.

Faisal menambahkan, Indonesia sebenarnya pernah punya masa di mana porsi manufaktur hampir mendominasi PDB di dekade 1990 dengan pertumbuhan per tahunnya (year-on-year) mencapai dua digit. Sayang, menurut data BPS, pertumbuhan industri manufaktur semester I lalu hanya di angka 3,38 persen.
Untuk itu, ia berharap pemerintah segera melakukan pendekatan yang serius terhadap industri manufaktur, seperti dukungan regulasi fiskal dan moneter yang bisa mendorong investasi. "Jika tidak segera bergegas, Indonesia mungkin masih akan berada di golongan low middle income countries selama 10 tahun ke depan," tutupnya.

Setali tiga uang, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa Indonesia perlu memperbesar porsi manufakturnya demi mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang ideal. Ia berkaca pada zaman orde baru di mana kontribusi manufaktur terhadap PDB pernah mencapai 28 persen. Mirisnya, angka ini malah menurun jadi 20,26 persen di semester I kemarin.

Padahal menurut Bhima, 30 persen hingga 40 persen PDB negara berkembang seperti Indonesia harus ditopang oleh sektor manufaktur. Sebagai percontohan, Korea Selatan mendorong kontribusi sektor manufaktur mencapai 38 persen terhadap PDB-nya demi melesat menjadi negara maju.

"Konteks Indonesia untuk lepas dari middle income trap adalah sektor industrinya harus diperhatikan dan didorong. Jangan sampai deindustrialisasi atau penurunan sektor industri terhadap PDB terus berlangsung," jelasnya.

Kendati demikian, asa untuk membawa Indonesia dari jeratan negara berpendapatan semenjana ini masih terbuka lebar. Sebab, di masa depan, Indonesia akan mengalami bonus demografi, di mana penduduk usia produktif akan merajai piramida penduduk. Asal, kesempatan itu wajib diimbangi pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen per tahun.

"Tetapi, pelajaran dari beberapa negara lainnya seperti Korea Selatan yang butuh waktu 40 tahun berubah dari negara miskin menjadi negara maju kuncinya bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi," ungkap Bhima.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu dambaan setiap pemerintahan. Namun, pertumbuhan itu seharusnya juga memiliki kualitas yang baik.

Pemerintah pun nampaknya sepakat dengan hal tersebut. Bambang menyebut, Indonesia harus punya inovasi agar bisa mengembangkan sektor manufaktur yang punya kemampuan nilai tambah yang lebih hebat lagi. Sehingga, salah satu visi pemerintah nantinya menitikberatkan pada investasi Sumber Daya Manusia.

"Mungkin masterplan-nya untuk keluar dari middle income trap adalah mendorong inovasi. Tapi, ada satu lagi yang tidak boleh kalah penting, yakni fasilitas riset dan pengembangan (Research and Development), layaknya India lakukan saat ini," kata Bambang.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER