Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan mampu bersinergi dalam mengambil kebijakan untuk kembali menyuburkan konsumsi dan pertumbuhan kredit perbankan, yang pada Juni 2017 melambat ke angka 7,6 persen dari sebelumnya sebesar 8,6 persen di Mei lalu.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah perlu kembali membangun kepercayaan masyarakat terhadap kondisi perekonomian Tanah Air, yang tercatat stagnan di kuartal II 2017 lalu pada angka 5,01 persen.
"Jadi, jangan membuat kebijakan-kebijakan yang mengakibatkan masyarakat menahan belanjanya dan cenderung menyimpan dananya di bank," ujar Faisal kepada
CNNIndonesia.com, Senin (7/8).
Adapun hal ini dapat dilakukan dengan tidak mengeluarkan kebijakan yang justru mengkhawatirkan masyarakat, seperti rencana yang pernah digulirkan ke publik, misalnya penurunan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga peningkatan tarif energi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, hal-hal tersebut dilihat Faisal akan membuat masyarakat kembali menahan konsumsi dan efek lanjutannya melemahkan pendapatan industri dan pedagang. "Nanti permintaan akan kredit pun berkurang," kata Faisal.
Sementara itu, dari sisi BI diharapkan mampu mengkaji kembali insentif yang membuat perbankan lebih memilih untuk menyimpan dananya di BI daripada menyalurkan dalam bentuk kredit.
Senada dengan Faisal, ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara mengungkapkan, pemerintah perlu meningkatkan daya beli masyarakat dengan menjaga kestabilan inflasi sampai akhir tahun, sembari mengefektifkan paket kebijakan ekonomi di sektor perbankan.
"Paket-paket kebijakan tentu perlu diefektifkan, terutama di sektor manufaktur," ucap Bhima.
 (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sedangkan dari sisi OJK, menurutnya, para punggawa baru pengawas industri perbankan itu dapat meningkatkan gairah pertumbuhan kredit perbankan dengan memberikan insentif yang lebih besar bagi perbankan yang mampu menyalurkan kredit ke sektor unggulan, misal sektor maritim dan ekonomi kreatif.
"Caranya dengan mengurangi pungutan yang biasa dibayarkan pelaku jasa keuangan. OJK diharapkan lebih responsif dan memberi banyak insentif, namun tetap mempertimbangkan faktor resiko," terang Bhima.
Bersamaan dengan formulasi kebijakan pendorong pertumbuhan kredit itu, Bhima menyebutkan bahwa para pelaku industri perbankan juga perlu ambil langkah untuk menambah portofolio penyaluran kreditnya.
Misalnya meningkatkan porsi kredit bagi sektor industri yang prospektif, yaitu industri alas kaki, kertas, infrastruktur hingga perkebunan yang berbasis komoditas.
"Khususnya untuk komoditas, ada potensi sektor ini terus mengalami penguatan, yang didorong oleh naiknya harga minyak mentah dan pemulihan ekonomi China," jelasnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, memang pertumbuhan kredit perbankan belum menggembirakan sampai Juni lalu lantaran masih tumbuh satu angka saja, bahkan begitu pula dengan Juli, diperkirakan masih satu angka. Padahal, BI menargetkan bisa menembus dua angka.
Menurut Agus, hal ini terjadi karena banyak korporasi yang melakukan konsolidasi dan efisiensi di semester I lalu, sehingga permintaan akan kredit baru masih minim.
Sementara di sisi perbankan, pemberian kredit tertahan lantaran bank turut pilah-pilih mengalirkan kredit agar rasio kredit bermasalah (
Non Performing Loan/NPL) tetap terjaga.
"Kami tahu bahwa mereka (perbankan) juga sedang konsolidasi mempersiapkan kalau seandainya nanti OJK, misalnya tidak melanjutkan relaksasi yang diberikan sejak setahun yang lalu," jelas Agus.
Kendati begitu, Agus tetap percaya bahwa sampai akhir tahun, pertumbuhan kredit perbankan bisa dua angka. Adapun bila diperlukan, BI, sambung Agus, bisa saja mengambil pelonggaran kebijakan untuk ikut merangsang perekonomian.
Sayangnya, Agus belum ingin membagi proyeksi pelonggaran tersebut. Sebab, perlu diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada pertengahan Agustus ini.
(gir)