Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, kebijakan tol laut milik Presiden Joko Widodo masih belum berhasil menekan disparitas harga di Indonesia Timur, khususnya pada bahan pangan. Hal itu terlihat dari observasi badan penelitian itu sejak Juli 2016 hingga Agustus 2017.
LIPI menggunakan harga bahan pangan di Surabaya, Jawa Timur sebagai harga patokan dalam penelitian tersebut. Pasalnya, Surabaya merupakan basis pelabuhan proyek tol laut yang melayani pengiriman logistik ke 13 rute menuju Indonesia timur.
Adapun, barang logistik ini disalurkan ke sembilan provinsi yang tergolong sebagai wilayah Indonesia Timur yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Di samping itu, di dalam penelitian ini, LIPI mengkonversi disparitas antara harga patokan Surabaya dengan harga bahan pangan di masing-masing provinsi ke dalam satuan ukur yang digunakan komoditas tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya, Sulawesi Selatan dinobatkan sebagai provinsi disparitas terendah, di mana selisih harga beras per kg antara Surabaya dan rata-rata Sulawesi Selatan bisa digunakan untuk membeli 0,72 kilogram (kg) beras di Sulawesi Selatan. Tak hanya itu, selisih harga telur ayam per kg antara Surabaya dan Sulawesi Selatan bisa digunakan untuk membeli 0,16 kg telur ayam di Surabaya. Terakhir, disparitas antara minyak goreng per kg antara Surabaya dan Sulawesi Selatan setara dengan 0,23 kg minyak goreng di Surabaya.
Di sisi lain, disparitas tertinggi ditempati oleh Papua, di mana selisih harga beras per kg antara Surabaya dan provinsi paling timur itu bisa digunakan untuk membeli 7,77 kg beras di Surabaya. Begitu pun dengan komoditas minyak goreng dan telur ayam per kg di mana disparitas harga kedua bahan pangan itu bisa digunakan untuk membeli 4,22 kg telur dan 6 kg minyak goreng di Surabaya.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Panky Tri Febiyansyah menuturkan, sebetulnya disparitas harga ini masih sama jika dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Menurutnya, masalah disparitas harga ini bukan karena program tol lautnya, melainkan sistem distribusi dari produsen ke pelabuhan
(door-to-port) dan pelabuhan ke konsumen
(door-to-port) yang tidak efisien.
“Berdasarkan penelitian kami, Sulawesi Selatan bisa jadi negara dengan disparitas terendah karena sebagian besar tinggal di pesisir yang memiliki akses ke pelabuhan. Di sisi lain, disparitas Papua masih tinggi karena sebagian besar barang dari pelabuhan masih harus dikirim ke pedalaman yang tentu saja
costly. Jadi, tol laut saja tentu belum berhasil menurunkan disparitas harga,” ujar Panky ditemui di Gedung LIPI, Jumat (25/8).
Untuk itu, kebijakan tol laut ini harusnya juga diimbangi dengan pembangunan konektivitas dari pedesaan ke akses transportasi. Ini digunakan untuk menekan biaya transportasi yang mahal dari pelabuhan menuju pemukiman terdalam.
Namun, ia juga menyadari bahwa metode itu tentu membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, pemerintah harus bergerak cepat dengan cara mengoptimalkan penggunaan dana desa yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp60 triliun demi pembangunan konektivitas desa ke akses transportasi terdekat.
Jika masalah konektivitas darat ini selesai, ia optimistis target pemerintah untuk mengurangi disparitas harga sebesar 50 persen bisa tercapai sesuai tenggat waktunya.
“Kalau ini jadi arah kebijakan ke depan, akses jalan pedesaan ini bisa jadi ujung tombak kebijakan tol laut. Kami pikir, sudah saatnya perlu ada koordinasi penggunaan dana desa antar kementerian,” jelasnya.
Sebagai informasi, saat ini sudah terdapat 13 trayek tol laut dan akan bertambah menjadi 20 rute di tahun depan. Adapun, pemerintah menganggarkan Rp355 triliun untuk melakukan program tol laut tahun ini.