Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) mengungkapkan, kepastian mengenai Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) untuk gas dari lapangan unitisasi Jambaran-Tiung Biru kepada PT PLN (Persero) baru bisa dilakukan setelah kesepakatan bisnis dengan ExxonMobil Cepu Ltd rampung dilakukan.
Adapun, kesepakatan yang dimaksud adalah pembelian hak partisipasi di Jambaran-Tiung Biru milik ExxonMobil sebesar 41,4 persen oleh Pertamina. Dalam hal ini, ExxonMobil kemarin sempat menawarkan harga hak partisipasi ini sebesar US$121 juta.
Direktur PT Pertamina EP Cepu (PEPC) Adriansyah beralasan, urusan dengan ExxonMobil harus kelar lebih dulu, sebab PJBG ini murni kontrak antara Pertamina dan PLN, serta tidak mengikutsertakan ExxonMobil. Apalagi, di dalam PJBG tersebut, Pertamina berasumsi bahwa gas yang akan disalurkan merupakan bagiannya ditambah jatah milik ExxonMobil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau saya tandatangan tapi belum kelar
business-to-business dengan ExxonMobil ya tidak bisa. Karena yang komitmen ini baru PEPC. PJBG baru bisa
sign setelah ExxonMobil melepas semua (hak partisipasinya)," ungkap Adriansyah ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin malam (28/8).
Ia melanjutkan, saat ini Pertamina juga masih mengevaluasi besaran harga yang diminta oleh ExxonMobil. Adapun, proses negosiasi harga sendiri dilaksanakan langsung oleh Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik.
Namun, selain valuasi harga, kedua belah pihak juga perlu menyepakati mekanisme pengambilalihan hak partisipasi tersebut. Ia mencontohkan komitmen pengeboran ExxonMobil yang nanti menjadi tanggung jawab Pertamina jika perusahaan asal Amerika Serikat ini murni lepas dari proyek Jambaran-Tiung Biru.
Untuk itu, Pertamina akan melakukan evaluasi biaya yang tadinya akan digelontorkan ExxonMobil dan mengubah kontrak-kontrak pengadaan jika nilainya tak sesuai dengan keinginan perusahaan.
"Ketika (hak partisipasi) diambil alih, semua kegiatan dialihkan ke kami semua, dan ini perlu novasi kontrak. Lalu masalah tender yang dilakukan oleh mereka, apakah kami bisa terima harganya?" tambahnya.
Di samping itu, ia juga berharap harga gas yang sudah disepakati dengan PLN sebesar US$7,6 per MMBTU tidak berubah hingga PJBG dilakukan. Apalagi, harga ini sebenarnya di bawah angka yang disodorkan ketika mengajukan rencana pengembangan, yakni US$8 per MMBTU dengan eskalasi 2 persen per tahunnya.
Untuk itu, perusahaan berupaya menekan biaya-biaya di luar pengadaan dan konstruksi
(Engineering Procurement and Construction/EPC) agar sesuai dengan standar Pertamina. Terkait ini, ia mengaku bahwa Wakil Menteri Arcandra Tahar berperan besar dalam mengidentifikasi efisiensi yang bisa dilakukan perseroan.
"Wakil Menteri ESDM ingin agar biaya di luar kontrak EPC bisa ditekan, misal
project management team, biaya administrasi, penggajian, yang memang standar kami dengan ExxonMobil ini beda jauh," katanya.
Lapangan Jambaran-Tiung Biru merupakan lapangan unitisasi antara lapangan Tiung Biru yang merupakan bagian dari Wilayah Kerja (WK) kelolaan Pertamina EP dan lapangan Jambaran yang merupakan bagian dari blok Cepu kelolaan ExxonMobil. Proyek ini diharapkan bisa onstream tahun 2020 dan bisa menghasilkan gas 227 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dengan puncak produksi diperkirakan sebesar 315 MMSCFD.
Hak partisipasi Pertamina EP Cepu (PEPC) dan ExxonMobil di salah satu Proyek Strategis Nasional itu tercatat masing-masing 41,4 persen, di mana sisa kepemilikannya diapit oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebesar 9,2 persen dan Pertamina EP sebesar 8 persen. Namun belakangan, Pertamina ingin membeli seluruh hak partisipasi ExxonMobil di lapangan tersebut.
Adapun pada 8 Agustus lalu, Pertamina dan PLN telah menandatangani nota kesepahaman ihwal pembelian gas, yang sedianya akan digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-Bali 3 dengan kapasitas 500 Megawatt (MW) dan PLTGU Tambak Lorok selepas pasokan gas dari lapangan Kepodang yang dikelola Petronas Carigali Ltd akan habis sesaat lagi.