Jakarta, CNN Indonesia -- Harga beras sebagai salah satu bahan pokok selalu menjadi momok. Harganya yang fluktuatif kerap membuat bimbang pemerintah dalam menentukan kebijakan. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, harga beras membentuk 10,26 persen dari inflasi tahunan di 2016 lalu, sebesar 3,02 persen.
Bahkan, menurut Kementerian Perdagangan, beras berkontribusi 26,66 persen terhadap inflasi sepanjang tahun ini
Tak ayal, pada 1 September lalu, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, yakni kebijakan di mana pemerintah menetapkan batas tertinggi harga beras berdasarkan letak geografisnya. Aturan ini diberlakukan bagi dua golongan beras, yakni beras premium dan beras medium.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengungkapkan, pengaturan harga beras ini dimaksudkan untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, di sisi lain, aturan ini pun tidak memberatkan produsen beras lantaran sudah memasukkan harga gabah, biaya transportasi, dan margin usaha yang wajar.
 Pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras pada 1 September 2017, yakni kebijakan mematok batas tertinggi harga beras berdasarkan letak geografisnya. (CNNIndonesia/Safir Makki). |
Melalui aturan ini, ia berharap, akan ada ekuilibrium baru di harga beras. Jika aturan ini tak cepat diimplementasikan, ia khawatir, akan ada upaya spekulatif terkait harga beras demi kepentingan sekelompok orang tertentu.
"Kami mempertahankan daya beli masyarakat dan tingkat kemiskinan yang sangat ditentukan oleh harga pokok pangan, terutama beras," ujarnya, kemarin.
Persoalannya, meski aturan tersebut memiliki itikad yang baik, tetap saja masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar ampuh menahan laju inflasi.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurti bilang, dengan penetapan HET beras, pemerintah secara tidak langsung telah menggolongkan beras sebagai komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) layaknya listrik dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Ia menilai, tak ada yang salah dengan penggolongan tersebut. Namun, jika pemerintah ingin menggolongkan harga beras sebagai administered prices, maka harus ada penegasan yang perlu dilakukan.
Pertama, pemerintah perlu menerapkan tindakan hukum yang tegas jika masih ada pelaku usaha yang tidak mengindahkan aturan ini. Sebab, hal sama juga berlaku pada listrik dan BBM, di mana ada tindakan hukum bagi pelaku yang menyalahgunakan dua hal tersebut.
Sayangnya, untuk kebijakan HET beras, pemerintah hanya menerapkan sanksi administratif saja, sehingga ada tendensi bahwa aturan ini bisa dihindari. "Akan sangat sulit jika tidak ada aturan yang clear (jelas) mengenai HET beras ini," paparnya.
Kedua, jika ingin aturan harga batas ini berhasil, maka pemerintah juga harus memperkuat peran Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) agar harganya tetap terkendali. Namun begitu, saat ini, kemampuan penyaluran beras Bulog hanya delapan persen.
Padahal, jika menilik pada BBM dan listrik, distribusi keduanya dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapatkan penugasan pemerintah, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
Makanya, jika kebijakan HET ini ingin berhasil, maka pemerintah harus meningkatkan kemampuan penyaluran beras Bulog hingga 70 persen dari pasar. "Menurut saya, harus seperti itu, (pelaku pasar) tidak boleh terlalu beragam," terang Bayu.
Sebetulnya, kebijakan yang selama ini dijalankan pemerintah sudah cukup baik, yaitu stabilisasi harga dengan menyerap gabah apabila harga rendah dan menjual gabah jika harganya sedang tinggi. Untuk itu, ia berharap, Bulog bisa memperbaiki daya serapnya.
"Yang dilakukan Bulog selama 30 tahun hingga 40 tahun terakhir ini, menurut saya sudah cukup efektif," katanya.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan mengatakan, kebijakan HET dianggap hanya memiliki dampak jangka pendek dan memiliki yang tinggi. Menurutnya, aturan ini bisa membuat penjual tak mau lagi membeli gabah dari petani dan menjualnya ke konsumen.
Akibatnya, beras bisa menjadi langka, sehingga bisa memicu munculnya pasar gelap untuk beras, di mana beras bisa dijual dengan harga jauh lebih mahal. Hal ini juga malah membuat inflasi lebih parah lagi.
"Makanya, kebijakan HET beras ini ada baiknya ditinjau ulang," tutur dia.
Meski menuai banyak kritikan, pemerintah tetap teguh ingin menerapkan kebijakan tersebut. Bahkan, pemerintah pun sudah mengantisipasi kemungkinan munculnya dampak negatif dari kebijakan ini.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kementerian Perdagangan Ninuk Rahayuningrum menjelaskan, instansinya tengah menyusun regulasi yang mengakomodasi ancaman kelangkaan beras pasca kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) diterapkan. Sebab, pemerintah melihat kondisi ini bisa terjadi ke depan melihat kondisi yang terjadi belakangan.
Menurut dia, pemasok sempat tidak mau menyalurkan beras ke ritel modern karena terhambat masalah keekonomian. Sebab, ketika HET mulai diberlakukan, harga gabah pun ikut naik. Akibatnya, pemasok tidak bisa menikmati margin usaha seperti biasanya.
Sayang, karena masih dalam pembahasan, Ninuk enggan menyebut detail regulasi tersebut. "Kami sudah lakukan simulasi jika hal ini terjadi dan kami berusaha menyelesaikan kendala ini ke depan. Yang pasti, jika ada kelangkaan beras, kami akan punya instrumennya. Namun, ini belum fix sehingga belum bisa kami beritahu," pungkasnya.