Jakarta, CNN Indonesia -- Citra PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA) seakan luntur setelah perusahaan menolak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap bayi Debora dua pekan lalu. Harga saham Mitra Keluarga pun sempat terpukul.
Tak butuh waktu lama, kasus itu membuat harga saham perusahaan langsung anjlok pada hari Senin (11/9) sebesar 3,31 persen ke level Rp2.040 per saham dari sebelumnya Rp2.110 per saham.
 Nilai kapitalisasi Mitra Keluarga merupakan yang terbesar dari empat perusahaan rumah sakit yang telah melantai di bursa saham. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi). |
Layanan yang tidak maksimal terhadap pasien gawat darurat ini tentu disayangkan banyak pihak. Potret buruk layanan rumah sakit sekelas Mitra Keluarga kini otomatis melekat di benak masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, Mitra Keluarga merupakan rumah sakit yang memiliki nilai kapitalisasi pasar terbesar untuk sektor rumah sakit di Bursa Efek Indonesia (BEI). Terpantau, nilai kapitalisasi pasar perusahaan pada Jumat (15/9) sebesar Rp31,42 triliun.
Nilai kapitalisasi Mitra Keluarga merupakan yang terbesar dari empat perusahaan rumah sakit yang telah melantai di bursa saham.
Selain Mitra Keluarga, juga ada PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) yang membawahi Siloam Hospitals. Selanjutnya, PT Sarana Mediatama Metropolitan Tbk (SAME) sebagai induk dari Omni Hospitals, dan PT Sejahteraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ) yang mengelola rumah sakit Mayapada Hospital.
Bila dirinci, nilai kapitalisasi pasar Siloam International sebesar Rp13,71 triliun, diikuti Sarana Mediatama Rp2,31 triliun dan Sejahteraya Anugrahjaya paling kecil, yakni Rp2,09 triliun.
Meski menduduki puncak tertinggi dari segi kapitalisasi pasar, tetapi nyatanya kinerja Mitra Keluarga melemah pada pertengahan tahun ini.
Mengacu pada laporan keuangan perusahaan, pendapatan Mitra Keluarga turun 2,38 persen menjadi Rp1,23 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp1,26 triliun.
Hal itu berdampak pada laba bersih yang juga merosot 5,26 persen dari Rp372,26 miliar menjadi Rp352,65 miliar. Memang, perusahaan perlu menanggung beban usaha lebih banyak sepanjang semester I kemarin, yakni Rp224,01 miliar. Angka itu naik 3,12 persen dibandingkan sebelumnya Rp217 miliar.
Untungnya, aset perusahaan masih tumbuh 8,39 persen menjadi Rp4,52 triliun dari posisi akhir tahun 2016 sebesar Rp4,17 triliun. Pencapaian ini lagi-lagi menjadi bukti keunggulan Mitra Keluarga dibandingkan dengan jumlah aset tiga rumah sakit lainnya.
Bila dirinci, jumlah aset Siloam International per kuartal I 2017 sebesar Rp4,37 triliun. Kemudian, nilai aset Sarana Mediatama dan Sejahteraraya Anugrahjaya pada semester I 2017 tercatat masing-masing Rp1,49 triliun dan Rp2,22 triliun.
Terkait kasus bayi Debora, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun telah turun tangan dengan memerintahkan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta memberikan teguran tertulis. Untuk langkah selanjutnya, pihak Dinkes masih menunggu hasil investigasi yang dilakukan oleh timnya.
Sanksi berupa pencabutan izin pun bisa diberikan jika memang Mitra Keluarga Kalideres terbukti melakukan kesalahan fatal.
Sejumlah analis sepakat saham sektor rumah sakit sejauh ini terlihat tidak likuid di pasar. Dengan kata lain, jumlah transaksi pelaku pasar di sektor rumah sakit tidak sebanyak di sektor lainnya, seperti perbankan dan barang konsumsi.
"Nyaris semua saham rumah sakit tidak likuid. Berbeda dengan sektor obat yang masih agak ramai ya, seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) gitu," kata analis Recapital, Kiswoyo Adi Joe kepada CNNIndonesia.com, Minggu (17/9).
Selain itu, nilai kapitalisasi pasar emiten sektor rumah sakit pun jauh lebih kecil dibandingkan dengan emiten sektor lainnya. Misalnya, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) di sektor perbankan yang memiliki nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp460,7 triliun.
Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) yang berada di sektor barang konsumsi berada di level Rp450,15 triliun dan Kalbe Farma di sektor farmasi memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp80,85 triliun.
Terlebih lagi, valuasi harga saham sektor rumah sakit juga dinilai mahal bagi pasar. Menurut Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan, tingkat mahalnya saham sektor rumah sakit bisa dilihat dari price to earning ratio (PER) masing-masing emiten.
PER bisa diartikan sebagai alat utama penghitungan harga saham suatu perusahaan dibandingkan dengan pendapatan perusahaan itu sendiri. Umumnya, pelaku pasar akan menilai harga wajar saham dari rasio tersebut.
Data RTI Infokom menunjukan, posisi PER Mitra Keluarga per Jumat (15/9) lalu mencapai 45 kali. Sementara, Siloam International sendiri sudah lebih tinggi, yakni 85 kali dan Sarana Mediatama 24 kali. Namun, khusus Sejahteraraya Anugrahjaya tercatat minus 24 kali.
"Jadi sebenarnya secara rata-rata masih kurang menarik karena PER tinggi, mahal," jelas Alfred. Kasus bayi Debora diprediksi masih menjadi sentimen negatif bagi Mitra Keluarga untuk jangka pendek. Dengan demikian, harga sahamnya pekan ini masih akan bergerak terbatas.
Namun, harga saham tidak akan kembali turun tajam karena penurunannya yang sudah terlalu dalam. Pada perdagangan Selasa (12/9) lalu, harga sahamnya anjlok ke titik terendah dalam sebulan terakhir ke level Rp2.000 per saham.
Namun begitu, harga saham Mitra Keluarga sebenarnya sudah terlihat bangkit (rebound) sejak Rabu (13/9) ke level Rp2.010 per saham dan terus menanjak hingga ke level Rp2.160 per saham pada penutupan akhir pekan lalu, Jumat (15/9).
"Tapi memang kasus ini masih akan menjadi sentimen negatif, atau artinya penahan sentimen positif bagi emiten," ujar Alfred.
Di sisi lain, Kiswoyo meyakini, sentimen negatif ini hanya akan berlaku untuk jangka pendek atau menengah. Ke depannya, harga saham akan bergantung pada keputusan penyelidikan yang dilakukan oleh Dinkes.
"Jangka pendek memang masih suram, untuk jangka panjang masih lihat dulu hasil penyelidikan," kata Kiswoyo.
Pelaku pasar juga akan melihat dampak masalah ini kepada kinerja perusahaan. Jika rumah sakit Mitra Keluarga dikenakan sanksi denda atau pencabutan izin, maka otomatis berdampak buruk bagi pendapatan perusahaan secara konsolidasian.
Selain sanksi secara materi, perusahaan tentu juga akan mendapat sanksi sosial jika terbukti salah melayani pasien. Bila demikian, pengunjung rumah sakit Mitra Keluarga secara keseluruhan berpotensi berkurang dari sebelumnya.
"Ini aksi beli saham bisa semakin sepi, pengunjung juga sepi butuh waktu memulihkan imej positif. Dampaknya ke kinerja perusahaan," terang Kiswoyo.
Menurut Kiswoyo, baik pendapatan dan laba bersih perusahaan pun berpeluang turun pada semester II ini dengan kisaran 15 persen hingga 30 persen.