Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menyatakan pihaknya akan mensosialisasikan aturan biaya isi ulang top up jika aturan itu telah diterbitkan.
Lembaga itu tak begitu menghiraukan rencana gugatan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat terkait penerapan aturan itu yang dinilai tak adil bagi konsumen.
"Ketentuannya kan belum keluar, yang jelas BI selalu mengedepankan perlindungan konsumen," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/9).
Sebelumnya, Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat David Tobing menilai pengenaan biaya
top-up uang elektronik merupakan praktik mal-administrasi terhadap konsumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, kebijakan tersebut berpotensi menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 yang tertuang dalam pasal 2 ayat 2, pasal 23 ayat 1, dan pasal 33 ayat 2.
David menyatakan pengenaan biaya itu hanya menguntungkan para pelaku usaha di antaranya pengelola jalan tol dan pengendapan dana tanpa bunga di perbankan.
Agusman mengungkapkan pihaknya akan mensosialisasikan ketentuan pengenaan biaya t
op-up uang elektronik setelah aturan diterbitkan. Jika tak ada hambatan, aturan tersebut bakal diterbitkan dalam waktu dekat sering dengan momentum program elektronifikasi pembayaran tol.
"Kami sosialisasikan setelah ketentuannya [biaya
top-up uang elektronik] keluar," ujarnya.
 BI bakal digugat jika tetap mengeluarkan aturan biaya top-up karena dinilai tak adil bagi konsumen. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Pemeliharaan InfrastrukturKebijakan biaya
top-up uang elektronik dilakukan untuk membiayai pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur uang elektronik yang diklaim bankir tidak murah. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Direktur Kelembagaan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Sis Apik Wijayanto saat ditemui kemarin.
Sis mengungkapkan bank harus menanggung biaya pengadaan kartu sebesar Rp25 ribu per kartu. Kemudian, biaya pengadaan mesin perekam data elektonic (EDC) sebesar Rp2,5 juta hingga Rp3 juta per unit.
Selain itu, bank juga harus menanggung biaya jaringan komunikasi, biaya tenaga SDM, biaya pengadaan kertas, serta biaya pemeliharaan.
Kebijakan biaya
top-up uang elektronik sendiri sebenarnya bukan barang baru. Praktik ini telah dilakukan oleh PT Transportasi Jakarta, operator bus Transjakarta, di mana perusahaan memberlakukan biaya administrasi top-up uang elektronik sebesar Rp2 ribu per transaksi yang dilakukan secara tunai.
Bagi penumpang yang melakukan isi ulang di ATM bank penerbit kartu yang sama, masyarakat tidak perlu membayar biaya transaksi
top-up."Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengedukasi pelanggan agar membiasakan transaksi non-tunai," tutur Direktur Utama PT Transportasi Jakarta Budi Kaliwono.
Biaya administrasi yang diterima, lanjut Budi, akan dicatat sebagai penerimaan perusahaan. Namun, Budi tidak menyebutkan besaran penerimaan dari pos biaya administrasi tersebut.
Data BI per Juli 2017 menyebutkan, jumlah instrumen uang elektronik yang beredar mencapai 69,46 juta unit atau naik sekitar 35 persen dari posisi tahun lalu. Sepanjang Januari-Juli 2017, nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp5,9 triliun dari 416,9 juta volume transaksi.