Jakarta, CNN Indonesia -- Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sepakat untuk menggratiskan layanan isi ulang uang elektronik hingga regulator menerbitkan aturan baru. Di saat bersamaan, bank akan memanfaatkan teknologi demi efisiensi pengadaan infrastruktur.
Maryono, Ketua Himbara yang juga menjabat Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menegaskan, pihaknya tak mengenakan biaya tambahan (surcharge)untuk isi ulang kartu pembayaran elektronik. Namun, bank pelat merah tetap akan mengikuti ketentuan jika regulator menerbitkan aturan biaya tambahan isi ulang tersebut.
"Prinsip kami tak mengenakan
charge, namun tetap mengikuti ketentuan BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Himbara akan menyesuaikan dengan mengutamakan pelayanan ke masyarakat," paparnya kepada
CNNIndonesia, Selasa(19/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengaku akan mengutamakan pelayanan masyarakat, khususnya dalam taraf sosialisasi transaksi tanpa uang tunai (
cashless). Apalagi kalau dana masyarakat sudah masuk ke bank, meski belum dikelompokan sebagai dana pihak ketiga (DPK).
"Maka itu kami sampai sekarang masih melakukan finalisasi ketentuan," lanjutnya.
Suprajarto, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menyampaikan, pihaknya sepakat untuk tidak mengenakan biaya pengisian ulang kartu pembayaran elektronik.
Ke depan, lanjutnya, perbankan akan lebih mengarahkan proses isi ulang melalui pemanfaatan teknologi canggih demi efisiensi pengadaan infrastruktur transaksi.
"Misalnya isi ulang Brizzi dengan NFC (
near field communication) yang nomor ponselnya telah terintegrasi internet banking BRI," jelasnya.
Selain efisiensi infrastruktur, bank juga berkesempatan 'membujuk' pengguna uang elektronik untuk menjadi nasabah.
"Ya, tentu kami harapkan demikian (pengguna menjadi nasabah)," katanya.
Sebelumnya, Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat David Mahurum L Tobing mengaku akan menggugat bank sentral jika bersikeras mematok biaya isi ulang uang elektronik.
Upaya bank-bank memungut biaya uang elektronik (
e-money) dianggap sebagai praktik mal-administrasi terhadap konsumen. Dua hal yang menjadi catatan, yakni membebani biaya administrasi dan transaksi nontunai.
"Pembebanan biaya administrasi itu yang sangat merugikan konsumen,” ujarnya ketika menyambangi Kantor Ombudsman, Senin (18/9).
Menurut dia, pengenaan biaya isi ulang saldo
e-money hanya menguntungkan golongan tertentu, dalam hal ini perbankan.
Menurut dia, kebijakan yang akan dibuat oleh BI berpotensi menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 yang tertuang dalam pasal 2 ayat 2, pasal 23 ayat 1, dan pasal 33 ayat 2.
Ia mengungkapkan, aturan pembayaran dengan uang elektronik dapat menyulitkan posisi konsumen. Jika semua transaksi dilakukan dengan uang elektronik, dikhawatirkan semua konsumen terpaksa mengikuti aturan main terkait yang dikeluarkan oleh bank maupun regulator.