Jakarta, CNN Indonesia -- Uang elektronik merupakan salah satu produk keuangan yang memanfaatkan kemajuan teknologi. Hadir di Indonesia sejak 2009 silam, uang elektronik berperan sebagai alat pembayaran yang memiliki nilai uang tersimpan secara elektronik.
Kini, uang elektronik dapat digunakan di hampir setiap transaksi pembayaran, seperti transportasi umum (Transjakarta), jalan tol, hingga berbelanja di toko ritel.
Laiknya dompet, jumlah uang dalam uang elektronik semakin berkurang seiring dengan penggunaannya. Sebaliknya, jumlah uang bertambah jika Anda mengisinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uang elektronik ini banyak diterbitkan oleh perbankan dan lembaga nonbank atas izin Bank Indonesia (BI). Saat ini, BI mencatat ada sedikitnya 18 uang elektronik keluaran bank dan lembaga non bank.
Antara lain, Flazz BCA, e-Money dan e-Toll Card Bank Mandiri, Brizzi BRI, Tap Cash BNI, Mega Cash dari Bank Mega, Nobu, Jakcard Bank DKI, Skye Sab, Rekening Ponsel CIMB Niaga, dan Dompetku Indosat.
Bagi masyarakat modern, penggunaan uang elektronik boleh dibilang praktis dan mudah. Uang elektronik ada yang berbentuk prepaid card (kartu), dan dompet digital (aplikasi).
Saldonya pun ditetapkan maksimal Rp10 juta dari semula Rp5 juta untuk uang elektronik terdaftar. Sementara, uang elektronik tak terdaftar tetap sebesar Rp1 juta.
Belum lama ini, BI melakukan kajian untuk memungut biaya isi ulang (top up) saldo uang elektronik. Dalam kajian awal, BI mengumandangkan pengenaan biaya
top up sebesar Rp1.500 - Rp2.000 setiap isi ulang.
Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) yang juga menjabat sebagai Direktur PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Anggoro Eko Cahyo mengungkapkan, pengenaan biaya top up bakal memberikan insentif bagi bank untuk mengembangkan infrastruktur uang elektronik.
Ia sebelumnya menuturkan, biaya
top up uang elektronik ini tidak akan menjadi disinsentif bagi masyarakat.
Toh, ia meyakini, pembayaran nontunai akan menjadi kebutuhan dan kebiasaan masyarakat di masa yang akan datang.
Apalagi, upaya memperluas jangkauan uang elektronik juga mendapat dukungan dari bank sentral dan pemerintah. Salah satunya, kewajiban pembayaran nontunai pada transaksi pembayaran jalan tol.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Eny V Panggabean mengatakan, aturan pengenaan biaya top up akan dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebelum pelaksanaan integrasi sistem pembayaran elektronik jalan tol (ETC) 31 Oktober 2017 nanti.
“Menunggu
Electronic Toll Collection (ETC terbentuk di Oktober, baru kami akan keluarkan PBI-nya,” ujarnya.
Sontak, rencana BI dan perbankan memungut biaya top up membuat masyarakat, khususnya pengguna uang elektronik, kecewa. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang akan memangkas transaksi isi ulang mereka.
“Nanti, kalau ada biaya tambahan, isinya sekali saja. Kan lumayan 10 kali
top up bisa kepotong Rp25 ribu (jika beban biaya Rp2.500,” tutur Icha (23), salah satu pengguna uang elektronik.
Malu-malu Pungut Biaya Banyaknya penolakan dari masyarakat membuat Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) secepat kilat membatalkan rencana memungut biaya
top up uang elektronik. Dengan kata lain menggratiskan layanan
top up.
Maryono, Ketua Himbara yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menegaskan, tidak akan ada biaya tambahan untuk isi ulang uang elektronik.
Eits, tapi jangan senang dulu. Soalnya, Maryono melanjutkan, bank-bank BUMN tetap akan mengikuti ketentuan apabila regulator menerbitkan aturan biaya tambahan untuk isi ulang.
“Prinsip kami tak mengenakan charge, namun tetap mengikuti ketentuan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Himbara akan menyesuaikan dengan mengutamakan pelayanan ke masyarakat,” imbuhnya kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (19/9).
Pagi ini, dalam pembukaan Indonesia Banking Expo, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja sempat menyebutkan bahwa perseroannya masih akan melakukan kajian.
“Endapan dana kami cuma ada Rp200 miliar. Kalau spread enam persen, setahun berarti cuma Rp15 miliar. Jadi, Rp80 miliar kurang Rp15 miliar, kami tekor Rp65 miliar. Tapi, kalau memang untuk pelayanan masyarakat kami diminta
free ya kami
free lah," tutur Jahja, mengutip ANTARA.
Selang beberapa jam kemudian, BCA 'latah' mengikuti jejak bank-bank BUMN untuk membatalkan rencana penarikan biaya
top up uang elektronik.
“Sama saja deh (dengan bank BUMN),” katanya singkat melalui pesan singkat kepada
CNNIndonesia.com.