Jakarta, CNN Indonesia -- Peraturan pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap harta yang tidak dilaporkan dalam surat pernyataan harta amnesti pajak dinilai berpotensi melahirkan masalah baru.
Soalnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, bukan tak mungkin sistem pelaporan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak akan berbeda dengan persepsi Wajib Pajak (WP).
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani mengungkapkan, sistem pelaporan yang tidak dibuat self-assesment (penilaian diri) berpotensi melahirkan persekongkolan antara WP dengan petugas pajak. Makanya, pemerintah dianggap perlu menjembatani potensi perbedaan itu dengan memberikan kriteria nilai yang jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Harus ada kepastian, identifkasi secara jelas, dasarnya apa? Kalau misalkan, yang dilaporkan tanah itu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), itu berarti ada perbedaan. Karena dengan self-assesment, mungkin kami tidak gunakan harga NJOP sekarang yang mungkin lebih tinggi,” jelas Rosan, belum lama ini.
Menurut dia, tak jarang lebih atau kurang bayar pajak bukan disebabkan oleh kesengajaan WP itu sendiri. Melainkan, kealpaan yang terjadi pada proses audit yang dilakukan oleh akuntan.
Makanya, ia mengusulkan, agar tidak ada pemeriksaan lanjutan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) jika WP telah melakukan proses audit. “Kalau memang ada permasalahan, itu ya akuntannya, bukan perusahannya,” jelasnya.
Meski demikian, ia tetap mengapresiasi kelahiran Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 tersebut. Bahkan sebelum aturan ini terbit, diakui bahwa pengusaha sudah diajak bicara oleh Menteri Keuangan. Adapun di dalam pembicaraan itu, Rosan bilang pengusaha ingin agar pelaporan tax amnesty yang belum komplit segera disempurnakan.
“Sementara, kalau yang sudah patuh, ya sudah, jangan dipertanyakan. Konsentrasi yang belum ikut tax amnesty, itu yang harus diperiksa dulu. Kalau belum sempurna ya disempurnakan. Kalau sengaja, ya tentu ada hukumnya yang berlaku,” imbuhnya.
Sekadar informasi, pemerintah membebankan pajak penghasilan (PPh) lain kepada WP yang merupakan peserta tax amnesty, jika masih ada harta bersih yang belum dilaporkan di dalam Surat Pernyataan Harta ketika melaksanakan tax amnesty.
Peraturan ini merupakan turunan dari pasal 13 dan pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Di dalam dasar beleid itu, pajak akan dibebankan kepada harta tambahan yang berada di dalam maupun luar negeri yang tidak diikutsertakan di dalam Surat Pernyataan Harta dan tercatat dimiliki WP sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015.
Jika WP memiliki penghasilan bruto dari pekerjaan bebas hingga Rp4,8 miliar, penghasilan bruto selain dari pekerjaan bebas sebesar Rp632 juta, dan apabila total keduanya paling besar Rp4,8 miliar, maka akan diberikan tarif 12,5 persen.
Sementara itu, WP badan dan WP Orang Pribadi masing-masing dikenakan tarif 25 persen dan 30 persen.
Namun, tarif ini tidak akan dikenakan jika penghasilan seseorang di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Selain itu, aturan ini juga berlaku bagi WP yang tidak mengikuti tax amnesty dengan ketentuan harta bersih yang sama.
Dengan catatan, WP bersedia membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilannya.
(bir)