Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik pungutan
top up uang elektronik atau
e-money masih saja menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Beleid tentang besaran biaya
top up e-money pun akhirnya dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Peraturan BI Nomor 19 Tahun 2017 tersebut mempertegas bahwa pungutan memang tidak bisa dihilangkan, meskipun dibatasi Rp1.500 untuk isi ulang melalui bank yang berbeda.
Kebijakan yang melegalkan pungutan isi ulang
e-money jelas tidak berpihak ke masyarakat. Logikanya sama seperti masyarakat menukar uang lama dengan uang lembaran baru, kemudian Bank Indonesia memungut biaya ke masyarakat sebagai penggantian biaya cetak uang baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini sama sekali tidak bisa diterima oleh publik.
Wajar kalau masyarakat kemudian protes. Selama ini tidak pernah ada keterbukaan atau transparansi soal untung-rugi bank penerbit
e-money. Tiba-tiba semua harus sepakat bahwa bank penerbit merugi.
Padahal hitung-hitungannya sederhana, jumlah kartu
e-money yang beredar sampai Juli 2017 mencapai 69 juta unit.
Kalau bank mendapat pemasukan Rp20 ribu dari jualan kartu
e-money maka selama ini bank sudah meraup pendapatan sebesar Rp1,38 triliun. Jadi cukup aneh ketika ujungnya masyarakat disuruh berbagi beban investasi infrastruktur
e-money dengan bank.
 Polemik uang elektronik menimbulkan polemik karena bank menerapkan biaya untuk top up.(CNN Indonesia/Safir Makki) |
Gerakan Non-Tunai Di sisi lain rasio antara uang elektronik dan uang tunai masih 1,14% per akhir 2016. Itu artinya, masyarakat yang dipaksa membayar biaya
top up meskipun hanya Rp1.500 berpotensi kembali lagi memakai uang tunai.
Pemakaian
e-money akhirnya sebatas digunakan membayar jalan tol. Itupun sifatnya memaksa karena ada aturan elektronifikasi jalan tol, semuanya wajib pakai kartu non-tunai.
Kalau kondisinya pemaksaan, kampanye gerakan non-tunai terancam gagal. Ide bahwa kartu plastik bisa digunakan untuk belanja, beli kopi di cafe atau beli buku masih jauh dari angan-angan
Selama ini masyarakat terutama kelas bawah masih melihat
e-money mahal. Misalnya, pemandangan yang terjadi di stasiun kereta api Jakarta.
E-money yang terintegrasi dengan fasilitas transportasi
commuter line sudah ada setidaknya 3 tahun lalu.
Tapi masyarakat masih memilih kartu sekali jalan bukan membeli kartu
e-money. Ini suatu potret bahwa masyarakat sebenarnya masih keberatan membayar kartu perdana e-money sebesar Rp50 ribu tapi hanya mendapat saldo Rp30 ribu.
Sisanya adalah harga kartu perdana yang harus dibayar konsumen.
Sementara model
e-money tidak semuanya bisa dikembalikan uang pokok kartu perdananya. Intinya kebijakan
e-money itu mudah melakukan t
op up tapi sulit dikembalikan.
Berbeda dengan Indonesia, model pembayaran menggunakan kartu
e-money sudah ada sejak 1997 di Hong Kong dengan nama Octopus Card. Data terakhir yang diperoleh dari otoritas resmi Hong Kong, Octopus Card telah dipakai oleh 95% masyarakat.
Jumlah Octopus card mencapai dua kali lipat dari jumlah penduduk Hong Kong. Karena keberhasilannya melakukan elektronifikasi diseluruh moda transportasi publik Octopus Card jadi model percontohan uang elektronik terbaik di dunia.
Belakangan, Inggris mengeluarkan Oyster Card meniru Hong Kong terutama untuk pembayaran London Underground (kereta bawah tanah) dan bus umum.
Pelajaran penting dari negara yang telah sukses melakukan elektronifikasi sistem pembayaran adalah konsep
sharing cost atau patungan biaya infrastruktur.
Agar beban tidak ditanggung oleh perbankan saja, maka biaya pembangunan maupun perawatan mesin EDC juga ditanggung perusahaan jasa transportasi.
Bahkan masyarakat tidak dibebankan sama sekali justru diberi aneka insentif seperti diskon belanja di
merchant yang bekerjasama dengan Octopus Card.
Uniknya lagi di Hong Kong, jika tidak menyiapkan uang pas atau recehan saat membayar bus umum, siap-siap tidak mendapat uang kembalian.
Akhirnya semua berbondong-bondong pindah ke Octopus Card. Orang Hongkong sudah malas memakai uang tunai atau logam yang bikin sesak dompet.
 Sebagian warga masih memilih kartu sekali jalan untuk transportasi dibandingkan dengan kartu e-money. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Sibuk Kartu Plastik Polemik biaya
top up hingga elektronifikasi jalan tol sebenarnya bukti dari gagapnya regulator dalam menanggapi perubahan di era digital. Cerita sedih uang elektronik yang mahal karena biaya infrastruktur bengkak harusnya tidak perlu terjadi.
Bukankah menjadi aneh, teknologi keuangan seharusnya membuat transaksi lebih murah, kenapa justru jadi lebih mahal dan masyarakat harus mengeluarkan uang lebih untuk pindah ke uang elektronik?
Masalahnya selama ini regulator dan bank masih sibuk membahas kartu plastik sebagai sistem pembayaran paling canggih. Di negara lain seperti Nigeria, Kenya dan India revolusi digital sudah mengarah kepada sistem pembayaran berbasis telekomunikasi bukan kartu plastik. Infrastrukturnya pun jelas lebih murah.
Toh, tidak perlu keluar uang untuk cetak kartu bahkan membeli mesin EDC.
Sebagian negara di Afrika sudah punya
e-money bernama M-Pesa yang menjangkau hingga pedesaan dengan basis telekomunikasi.
Bahkan telepon selular yang cuma bisa SMS dan telepon pun terjangkau oleh teknologi M-Pesa. Kenapa imajinasi soal
e-money tidak diperluas? misalnya membayar jalan tol cukup mengisi saldo di telepon selular yang tersambung Internet tidak butuh gardu tol sama sekali.
Sementara itu Indonesia gagal
move on dari kartu plastik. Dari 25 perusahaan yang tercatat menerbitkan uang elektronik 11 perusahaan didominasi bank.
Perusahaan telekomunikasi masih terganjal banyak aturan sehingga perkembangan
e-money berjalan lambat. Begitu juga Grab Pay dan Go Pay seharusnya menjadi masa depan
e-money, namun regulator sepertinya masih ingin agar
e-money berbasis perbankan dengan alasan lebih aman.
[Gambas:Youtube]Faktanya
e-money yang diterbitkan bank bukan jaminan keamanan nasabah. Kalau kartu
e-money hilang, nasabah harus ikhlas saldo sisa ikut lenyap. Jangan berharap bank atau LPS akan mengganti uang nasabah.
Gagap
e-money ini harus segera diakhiri dengan jalan tengah yang cerdas. Bukan sekedar membuat batas atas pungutan. Idealnya Bank Indonesia merevisi total peraturan pengenaan
top up dan mewajibkan bank penerbit untuk tidak membebankan biaya sama sekali ke konsumen.
Baik untuk antar bank yang berbeda maupun sesama bank, seharusnya gratis.
Ini agar masyarakat sadar bahwa pindah dari uang tunai ke uang elektronik itu murah, dan memudahkan kehidupan. Bukan justru menambah beban.
(asa)