Jakarta, CNN Indonesia -- Indeks sektor keuangan sepertinya menjadi sorotan pelaku pasar sepanjang pekan lalu. Bahkan, bisa dikatakan indeks sektor tersebut menjadi motor penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di tengah masih keluarnya dana asing (
capital outflow).
Tak tanggung-tanggung, data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukan indeks saham sektor keuangan tembus ke level 1.012,974, atau naik tajam 2,73 persen dari pekan sebelumnya di level 986,043.
Berbagai kebijakan Bank Indonesia (BI) yang dikeluarkan pekan lalu memberikan angin segar bagi emiten perbankan. Misalnya, aturan BI terkait biaya pengisian ulang (
top up) uang elektronik yang berkisar Rp750 hingga Rp1.500 akan menambah pendapatan bagi perbankan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya pendapatan non bunga (
fee based income) tentu akan bertambah dengan adanya biaya
top up. Sehingga pelaku pasar berasumsi biaya
top up dikalikan dengan jumlah nasabah perbankan, maka nilainya akan tinggi," papar Analis Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (23/9).
Aturan biaya
top up ini tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (NPG). BI membagi aturan pengisian top up menjadi dua.
Pertama, biaya akan dikenakan untuk nilai transaksi diatas Rp200 ribu dengan biaya maksimal Rp750 jika nasabah melakukan top up melalui kanal pembayaran miliki penerbit kartu (
top up on us).
Kedua, BI mematok biaya maksimal Rp1.500 bagi nasabah yang melakukan isi ulang melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda atau mitra (
top up off us).
Sentimen positif lainnya berasal dari prediksi berbagai ekonom atau analis terkait keputusan Bank Indonesia (BI) yang kembali menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 4,25 persen dari sebelumnya 4,5 persen.
"Adanya asumsi suku bunga BI turun maka nantinya perbankan ikut menurunkan tingka suku bunga kredit, jadi perusahaan bisa meningkatkan penyaluran kreditnya," terang Reza.
Tepat sesuai ramalan, BI pun mengumumkan penurunan suku bunga acuan pada Jumat (22/9) malam, setelah bulan sebelumnya juga diturunkan 25 basis poin menjadi 4,5 persen dari sebelumnya 4,75 persen.
Sementara itu, analis Recapital Sekuritas Kiswoyo Adi Joe menilai, banyaknya minat investor di saham perbankan juga ditopang oleh adanya rumor kenaikan rating dari lembaga pemeringkat internasional, seperti Fitch Ratings, Moody's, dan Standard & Poor's (S&P).
"Saya curiga rumor kenaikan untuk rating perbankan di Indonesia benar karena investor asing masih betah di saham perbankan," ucap Kiswoyo.
Kondisi ini, jelasnya, sama persis seperti sebelum S&P menaikan peringkat investasi Indonesia bulan Mei lalu. Semakin dekat momen tersebut, pelaku pasar asing terlihat semakin deras menginvestasikan dananya di pasar modal Indonesia.
Namun, pelaku pasar asing langsung melakukan aksi ambil untung (
profit taking) atau menarik dananya setelah Indonesia mendapatkan peringkat layak investasi oleh S&P.
Alhasil, asing tercatat jual bersih (
net sell) pada bulan Mei sebesar Rp625 miliar. Namun, pada bulan sebelumnya atau April terlihat asing masih tercatat melakukan beli bersih (
net buy) sebesar Rp13,96 triliun.
Dengan berbagai sentimen yang ada, harga saham empat emiten perbankan terbesar di BEI melonjak sepanjang pekan lalu. Lihat saja, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menguat 4,74 persen menjadi Rp19.875 per saham.
Kenaikan ini membuat BCA menyalip PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) atau Telkom di posisi pertama emiten terbesar di BEI bila dilihat dari segi nilai kapitalisasi pasar. Pasalnya, BCA kini memiliki nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp485,1 triliun, sedangkan Telkom sebesar Rp467,7 triliun.
Selanjutnya, harga saham BRI menguat 4,5 persen ke level Rp15.675 per saham, BNI mengarah ke level Rp7.475 per saham atau naik 3,1 persen, dan Bank Mandiri mendaki 0,38 persen menjadi Rp6.600 per saham.
Peningkatan harga saham emiten perbankan diproyeksi tidak berhenti pada pekan lalu saja. Sejumlah analis sepakat, harga wajar saham perbankan akan ditingkatkan seiring dengan penurunan tingkat suku bunga acuan BI.
"Pasti harga wajar saham bakal dikaji kembali, karena pastinya penurunan suku bunga akan mendorong pertumbuhan kredit lebih besar lagi," ucap Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang.
Umumnya, acuan nilai wajar suatu harga saham dilihat dari price to earning ratio (PER) tiap emiten. PER merupakan perbandingan antara harga saham dengan laba bersih perusahaan.
Berdasarkan data RTI Infokom, PER untuk BCA pada akhir pekan lalu sebesar 23,25 kali, kemudian BRI sebesar 14,41 kali, Bank Mandiri sebesar 16,26 kali, dan 10,86 kali.
Secara keseluruhan, Edwin meyakini, saham perbankan masih akan menjadi incaran mayoritas pelaku pasar untuk pekan ini. Bahkan, ia pesimis pelaku pasar melakukan aksi ambil untung (profit taking) terlebih dahulu atas kenaikan harga saham emiten perbankan pekan lalu.
"Sepertinya kecil kemungkinannya (pelaku pasar profit taking), karena penurunan suku bunga BI itu positif sekali," pungkas Edwin.
Tak sependapat, Kiswoyo menilai, harga saham perbankan berpeluang melemah pada awal pekan ini karena aksi ambil untung oleh pelaku pasar. Namun setelah itu, aksi beli akan kembali dilakukan sehingga harga saham perbankan tetap berpotensi menguat jika diukur sepanjang pekan ini.
"Kan IHSG menuju level 6.000, jadi kemungkinan menguat lagi," kata Kiswoyo.
Adapun, Reza menuturkan, aksi ambil untung ini terutama akan melanda beberapa emiten perbankan yang meningkat signifikan pekan lalu, seperti BCA, BNI, dan BRI. Artinya, ada potensi peralihan aksi beli ke beberapa emiten perbankan lain yang belum menguat pekan lalu.