ANALISIS

Proyek Tambal Sulam 'Kebocoran' Dana BPJS Kesehatan

CNN Indonesia
Rabu, 27 Sep 2017 13:39 WIB
BPJS Kesehatan saat ini dihadapkan pada premi yang terlalu rendah dan klaim yang sangat tinggi. Ini yang membuat lembaga itu mengalami defisit.
BPJS Kesehatan saat ini dihadapkan pada premi atau iuran yang terlalu rendah dan klaim yang sangat tinggi. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memperkirakan bakal kembali mencatatkan defisit anggaran mencapai Rp9 triliun pada tahun ini. Penyebabnya masih sama, iuran yang diperoleh masih tak sanggup menutupi klaim besar yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan. Akibatnya, pemerintah setiap tahunnya harus menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) triliunan rupiah.

Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menuturkan, BPJS Kesehatan dihadapkan pada premi atau iuran yang terlalu rendah dan klaim yang sangat tinggi. Tanpa adanya perbaikan dari sisi iuran dan mekanisme klaim, maka BPJS Kesehatan, menurut dia, akan terus membutuhkan suntikan dana dari pemerintah.

"Saat ini, iuran BPJS Kesehatan terlalu rendah, di bawah keekonomian terutama untuk peserta mandiri. Padahal dari sisi klaim, klaim terbesar itu dari penyakit katastropik yang kebanyakan diderita peserta mandiri, bukan klaim dari perserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)," ujar Irvan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Irvan, klaim dari peserta PBI yang mencapai 110 juta, nyatanya justru lebih kecil dibandingkan peserta mandiri. Pasalnya, kendati jumlah perserta mandiri terbilang belum banyak, rata-rata peserta mandiri menggunakan fasilitas BPJS untuk pengobatan penyakit katastropik, seperti jantung, stroke, ginjal, kanker yang menyedot biaya besar.

"Jadi yang klaim paling banyak itu justru orang-orang yang bukan dibayari pemerintah dan bukan penerima upah," ungkapnya.

Oleh karena itu, menurut Irvan, BPJS Kesehatan perlu menaikkan iuran bagi peserta mandiri. Selain itu, BPJS Kesehatan juga perlu menerapkan cost sharing (pembagian biaya) kepada peserta, khususnya peserta mandiri untuk pengobatan jenis penyakit katastropik.

"Ini yang saat ini sudah diterapkan di Amerika Serikat dan Jerman," jelas dia.

Tanpa itu, maka menurut dia, beban BPJS Kesehatan akan terus membengkak. Dia pun memperkirakan hingga 2019, BPJS Kesehatan akan terus mengalami defisit anggaran sekitar Rp8 triliun hingga Rp10 triliun yang harus ditambal dari APBN.
Proyek Tambal Sulam 'Kebocoran' Dana BPJS KesehatanBPJS Kesehatan mengalami defisit karena premi yang rendah namun nilai klaimnya tinggi. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Delapan Opsi BPJS

Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat menjelaskan, peningkatan iuran dan pengurangan manfaat bukan opsi yang dapat diambil pihaknya saat ini guna mengatasi defisit anggaran.

Oleh karena itu, pihaknya menurut dia, pihaknya tengah mengkaji delapan opsi bauran guna menjaga keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Saat ini sedang dipersiapkan opsi bauran sebanyak delapan opsi untuk memastikan sustainabilitas program JKN KIS tanpa membebani masyarakat melalui kenaikan iuran," terang Nopi.

Pertama, pemanfaatan pungutan pajak rokok yang didapat dari cukai hasil tembakau. Ini merupakan kompensasi bagi perokok terhadap program kesehatan.

Kedua, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) yang khusus diperuntukkan untuk program JKN. Ketiga, pembagian beban biaya yang lebih efektif dan efisien ke asuransi pemerintah, PT Jasa Raharja (Persero).

Keempat, peninjauan beban pembiayaan penyakit akibat kerja ke BPJS Ketenagakerjaan. Sayang, empat opsi lainnya enggan dijabarkan oleh BPJS Kesehatan.
Namun, Nopi menyatakan kajian itu tengah dibahas bersama antar Kementerian/Lembaga (K/L), mulai dari Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, hingga Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Pembahasan yang akan berada di bawah pimpinan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tersebut, diharapkan dapat diberlakukan mulai tahun depan.

Di samping itu, menurut dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berkomitmen untuk menjamin kesehatan masyarakat, termasuk mengantisipasi persoalan pendanaan BPJS Kesehatan secara bersama.
Antisipasi kebocoran anggaran dan penggunaan APBN sebagai jurus menutup defisit, menurut dia, juga sebenarnya telah diproyeksi sejak awal penyusunan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS.

"Angka defisit ini diantisipasi bersama, termasuk pilihan dan komitmen Presiden Jokowi untuk mengatasi defisit tersebut melalui anggaran negara," terang Nopi.

Suntik Anggaran

Sejak berdiri pada 2014 hingga tahun ini, pemerintah telah menyuntikkan anggaran sekitar Rp15 triliun guna menambal defisit anggaran BPJS Kesehatan.

Baru beroperasi selama satu tahun, BPJS Kesehatan sudah mencatatkan defisit anggaran sebesar Rp3,31 triliun pada 2014. Pemerintah kemudian memutuskan untuk menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun pada 2015. Suntikan tersebut terbagi dalam dua tahap, yakni tahap pertama sebesar Rp3,5 triliun dan tahap kedua Rp1,5 triliun.

Kendati demikian, pada 2015, BPJS Kesehatan masih mencatatkan defisit anggaran, bahkan mencapai Rp9,07 triliun. Pemerintah pun kemudian kembali menyuntikkan PMN pada 2016 lebih besar lagi mencapai Rp6,9 triliun.

Pada 2016, BPJS Kesehatan pun masih mencatatkan defisit anggaran, sedikit lebih kecil dibanding 2015, yakni mencapai Rp8,56 triliun. Pada tahun ini, pemerintah hanya menganggarkan PMN sebesar Rp3,6 triliun di tahun ini. Sementara itu, pada RAPBN 2018, pemerintah tidak lagi mengalokasikan PMN untuk menambal defisit APBN.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara belum lama ini menjelaskan, pemerintah pada tahun depan memang tidak mengalokasikan lagi PMN guna menambal defisit BPJS Kesehatan.

Alasannya, sebagai pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS wajib mengelola keuangan dengan baik dan sehat.

BPJS Kesehatan pun diharapkan lebih gencar dalam membidik peserta mandiri jaminan sosial yang masih memiliki potensi sangat besar. Dengan demikian, iuran dari para peserta mandiri dapat membantu pemasukan BPJS Kesehatan.

"Secara umum BPJS itu memang kami minta untuk mengelola dana dengan sustainable, kepesertaan yang bayar sendiri itu kan masih memliki ruang yang besar, untuk itu BPJS perlu mengintensifkan kepesertaan dari yang peserta mandiri itu," ujar Suahasil.

Dalam RAPBN 2018, pemerintah dan BPJS kesehatan disebut akan berupaya meningkatkan pendapatan BPJS kesehatan dan mengendalikan klaim.

Guna mengurangi risiko jangka panjang, BPJS Kesehatan akan meningkatkan peserta mandiri, memperkuat fasilitas kesehatan tingkat pertama, peningkatan upaya kesehatan preventif, penyesuaian iuran dan manfaat secara bertahap, meningkatkan peran pemda, serta pelaksanaan coordination of benefit (CoB) dengan asuransi umum.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER