Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia diramal akan memiliki tambahan pembangkit listrik tenaga gas, mesin gas, dan gas uap sebanyak 24,4 Gigawatt (GW) selama 10 tahun ke depan. Itu membuat porsi gas terhadap bauran energi (energy mix) naik dari posisi saat ini 25,8 persen menjadi 26,7 persen.
Tentu saja, itu membutuhkan pasokan gas yang tidak sedikit. PT PLN (Persero) mencatatkan kebutuhan gas mencapai 1.193 Trilion British Thermal Unit (TBTU) selama 10 tahun mendatang atau tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu yang sebanyak 606,5 TBTU.
Dari jumlah tersebut, 851 TBTU atau 71,33 persen dari kebutuhan gas bagi pembangkit akan disediakan dari gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG).
Namun, pemanfaatan LNG ini tentu membutuhkan dana yang tak sedikit. Dibutuhkan modal untuk membangun fasilitasnya, mulai dari terminal LNG, fasilitas regasifikasi, hingga pipanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karenanya, pemerintah berharap pihak swasta bisa masuk untuk membantu pengembangan bisnis gas menjadi tenaga listrik (gas to power) di Indonesia.
Tetap saja, investasi infrastruktur gas bukan berarti tak memiliki kendala. CNNIndonesia.com berkesempatan melakukan wawancara dengan Robert Grant, Senior Vice President Asia-Pacific SNC-Lavalin Inc, salah satu pemain utama bisnis infrastruktur gas dunia. Lewat wawancara ini, ia akan memaparkan tantangan serta potensi investasi infrastruktur gas di Indonesia.
(T) Sudah berapa lama SNC Lavalin beroperasi di Indonesia?
(J) SNC Lavalin adalah perusahaan Kanada yang bergerak di bidang pengembangan infrastruktur, utamanya engineering, procurement dan construction (EPC).
Kami beroperasi di 50 negara dan punya 50 ribu pegawai. Kami punya empat area keunggulan, yakni minyak dan gas bumi, pertambangan, industri, dan ketenagalistrikan.
Di Indonesia, kami sudah beroperasi selama 25 tahun di mana kami lebih banyak bergerak di proyek pertambangan. Selama delapan bulan terakhir, kami mencoba menggarap bisnis gas di Indonesia dan fokus di kegiatan, antara (midstream), regasifikasi, dan pemasaran gas.
Bagaimana kancah bisinis infrastruktur gas perusahaan di ranah global?
Utamanya di dunia, kami saat ini merupakan pemain utama di Australia untuk terminal LNG hingga regasifikasi. Semoga kegiatan ini bisa merambah ke Indonesia dan sekitarnya.
Seperti apa proyek yang dikerjakan perusahaan saat ini di Indonesia?
Yang kami lakukan adalah pengerjaan pipanisasi gas PLN menuju pembangkit yang sekiranya dikerjakan dalam waktu lima tahun ke depan, baik itu pembangkit milik pengembang listrik swasta ataupun PLN.
Maaf, kami tidak bisa bilang nama proyek yang lebih spesifik mengingat sifatnya rahasia, tapi ada beberapa lelang EPC proyek yang kami ikuti baik dari pengembang listrik swasta atau PLN.
Selain itu, PT Pertamina (Persero) dan PLN juga telah mengidentifikasi delapan klaster terminal LNG di Indonesia, itu juga menjadi fokus bagi kami.
Lalu, kenapa perusahaan tertarik menggarap bisnis gas to power di Indonesia?
Kami lakukan itu karena berbagai alasan. Ini sejalan dengan keinginan pemerintah dan PLN yang menjalankan rencana proyek listrik 35 ribu MW.
Selain itu, banyak proyek ketenagalistrikan substansial yang akan dikerjakan, di mana sebagian besar digerakkan dengan tenaga gas. Kami harap, bisa membantu PLN maupun pengembang listrik swasta dari sisi pembangunan terminal maupun fasilitas regasifikasi ke pembangkit listrik.
Menimbang niat tersebut, kira-kira apa yang menjadi tantangan terberat bagi perusahaan dalam merealisasikan investasi di Indonesia?
Tentu saja, proyek seperti ini biasanya bergantung dari beberapa isu.
Pertama, kami juga investor, sehingga kami perlu mendanai proyek secara mandiri.
Kedua, tentu ada masalah dari segi pembebasan lahan. Tapi, kami cukup senang bahwa pemerintah telah membantu urusan tersebut dan juga telah membantu menyelesaikan beberapa regulasi yang menumpuk.
Jika masalah regulasi lain bisa dibereskan, maka investor lain pasti mau terlibat ke dalam proyek ini.
Kira-kira regulasi seperti apa?
Kami ingin punya porsi yang signifikan dalam menggarap infrastruktur gas di Indonesia, namun saat ini persaingan usahanya juga ketat karena pemerintah dan PLN menerapkan aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Ini juga bisa menjadi hambatan, karena pelaku usaha di sektor ini jarang menemukan hal tersebut (di negara lain).
Karena pemerintah sangat mengawasi aturan TKDN, kami pun telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan lokal demi mengatasi aturan tersebut. Ini pun telah kami lakukan selama 25 tahun perusahaan kami beroperasi di Indonesia.
Selain itu, terkadang realisasi proyek pemerintah kadang jauh beda dengan perencanaanya. Apakah perusahaan juga melihat itu sebagai hambatan?
Kalau melihat proses bisnis, tentu kami ingin semua dilakukan secara cepat. Masalah utama bagi negara berkembang, seperti Indonesia adalah risiko politik. Sejauh ini, kami lihat ada keinginan kuat dari Presiden Joko Widodo agar proyek 35 ribu MW ini berjalan sesuai rencana, jadi tak ada alasan untuk tidak mendukung pemerintahan saat ini.
Sayang, secara politik, mungkin ada banyak pihak yang ingin Presiden lengser. Hal ini tentu menjadi perhatian mengingat politik Indonesia sudah cukup ajeg dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, selamat dari berbagai krisis keuangan.
Kestabilan politik di Indonesia sebenarnya membuat orang tertarik berinvestasi dan ini bisa mengendalikan pertumbuhan ekonomi serta menumbuhkan permintaan listrik di kemudian hari.
Berarti, meski banyak hambatan, Anda melihat bahwa potensi investasi infrastruktur gas di Indonesia cukup menjanjikan?Tentu sangat positif, karena Indonesia memiliki populasi yang sangat besar yang tersebar di berbagai pulau. Seiring kestabilan politik membaik menopang kestabilan pertumbuhan ekonomi yang memicu kenaikan rata-rata penggunaan energi.
Jadi, sangat penting bahwa diperlukan sarana yang bisa menopang kebutuhan energi kala demografis Indonesia bergerak menuju kelas menengah ke atas.
(bir)