Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Koordinator Perekonomian mensinyalir sebanyak 190 daftar investasi mangkrak. Padahal, nilai investasi tersebut tak main-main, yaitu senilai Rp351 triliun dan US$50 miliar.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Edy Putra Irawady mengatakan, investasi mandek diduga terjadi karena proses perizinan yang ruwet.
“Setelah dilihat evaluasi dari paket kebijakan, kok banyak yang mangkrak. Ada 190 daftar, baik investasi maupun kegiatan proyek. Totalnya Rp351 triliun dan US$50 miliar. Harusnya sudah jalan, tapi belum eksekusi,” ujarnya di Bandung akhir pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nilai investasi global mencapai US$1.471 miliar per tahun. Namun, Indonesia baru memperoleh porsi sekitar US$109,97 miliar.
Ini berarti, sambung Edy, Indonesia masih memiliki banyak peluang untuk menggarap potensi investasi dari negara lain. Namun, realisasinya belum cukup memuaskan.
Berdasarkan data Kemenko Perekonomian, rata-rata realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) setiap tahunnya tercatat 27 persen dari komitmen awal dalam tujuh tahun terakhir.
Dapat disimpulkan, berarti sekitar 73 persen komitmen mangkrak dan tak terkonversi menjadi investasi atau kegiatan berusaha.
Sementara itu, realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) hanya 31 persen. Sedangkan sisanya, 69 persen urung dieksekusi menjadi investasi dan tercatat sebagai potensi kerugian.
Sebetulnya, menurut Edy, investasi terkendala bukan karena masalah akses internasional. Toh, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan sudah melakukan upaya negosiasi perdagangan dan mendorong iklim investasi yang kondusif.
“Hal itu harus kita apresiasi. Dari sisi akses sudah lebih baik,” katanya.
Persoalan utama yang dikeluhkan, sambung dia, masalah birokrasi dalam proses perizinan investasi, terutama di tingkat pemerintah daerah. Lalu, masalah kepastian hukum dan persoalan tata ruang, seperti aturan pertanahan atau konflik kawasan kehutanan.
Sayangnya, Edy melanjutkan, badan pengelola perizinan tak mampu menjamin kepastian hukum dan menjaga komitmen agar investor bertahan memarkirkan duitnya di dalam negeri.
Ambil contoh, komitmen insentif potongan pajak atau tax allowance yang urung diberikan, sehingga investor kabur mencari negara tujuan investasi lain. Tak cuma itu, pemilik modal juga ragu dan enggan berinvestasi di Indonesia karena peraturan daerah acap kali berubah atau batal dalam waktu singkat.
“Istilahnya (badan pengelola perizinan) kalau punya mainan baru, yang lama ditinggalkan. Seharusnya, bisa menjaga komitmen dengan investor, jangan sampai kabur ke pasar baru. Kami melihat itu semua,” imbuhnya.
Padahal, Indonesia memiliki banyak keunggulan dibandingkan negara Asia lainnya. Salah satunya, sumber daya alam melimpah sebagai bahan baku industri, serta tenaga kerja yang banyak, mumpuni, dan pendapatan relatif terjangkau.
Terlebih lagi, Indonesia dikenal sebagai negara berpopulasi besar dengan level konsumen nan jumbo. “Indonesia tetap gadis yang cantik, tapi orangtuanya terlalu banyak mengatur,” pungkasnya.
(bir)