BPK Sebut Pendapatan Pertamina Rp2,19 T Hilang karena Premium

CNN Indonesia
Kamis, 05 Okt 2017 10:26 WIB
BPK menemukan PT Pertamina (Persero) berpotensi kehilangan pendapatan Rp2,19 triliun karena berjualan BBM jenis Premium pada 2015.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, PT Pertamina (Persero) berpotensi kehilangan pendapatan karena berjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan, PT Pertamina (Persero) berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp2,19 triliun karena berjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium pada 2015.

Seperti diketahui, BBM Premium digolongkan sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP). BBM Premium juga merupakan salah satu beban subsidi anggaran negara.

Angka temuan BPK tersebut didapat dari Ihtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017. BPK mengaudit penyaluran Premium di wilayah di luar Jawa, Madura, dan Bali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Dari pemeriksaan tersebut, ditemukan bahwa potensi kehilangan pendapatan Pertamina disebabkan beberapa hal. Yang pertama, Standar Operasional Prosedur (SOP) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menyusun formula harga dasar JBKP tahun 2015 belum mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 191.

Dalam aturan itu, formulasi harga jual eceran BBM mencakup biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin. Kemudian, harga itu juga mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).

Yang kedua, volume penyaluran yang diperhitungkan Pertamina didasarkan pada penyaluran kepada lembaga penyalur. Namun seharusnya, volume yang disalurkan harus didasarkan kepada konsumen pengguna.


Akibatnya, perhitungan volume Pertamina belum memperhitungkan stok akhir yang belum tersalurkan dan adanya penyusutan volume minyak atas distribusi yang terjadi.

Terakhir, penetapan formula biaya perolehan, biaya distribusi, dan penyimpanan serta formula margin Tahun 2015 tidak sesuai dengan Surat Keputusan Menteri ESDM No.2856K/12/MEM/2015.

Bahkan, terdapat inkonsistensi dalam periode data dan periode acuan, yakni indeks Mean of Platts Singapore (MOPS) dan kurs yang digunakan dalam penyusunan formula harga dasar di tahun tersebut.

"Nilai potensi pendapatan yang tidak diterima oleh Pertamina karena harga jual eceran (HJE) ditetapkan tidak sesuai dengan ketentuan menjadi lebih tinggi senilai Rp2,15 triliun dari nilai yang wajar," ujar Kepala Biro Humas BPK Yudi Ramdan Budiman, dikutip Kamis (5/10).

BPK Sebut Pertamina Berpotensi Kehilangan Rp2,19 TriliunStasiun Pengisian Bahan Bakar Umum milik PT Pertamina. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Audit BPK tersebut mengoreksi asersi Pertamina bahwa potensi kehilangan pendapatan dari berjualan Premium sepanjang 2015 sebesar Rp3,67 triliun.

Sebagai tindak lanjut dari audit ini, BPK meminta Kementerian ESDM untuk menyusun pola perhitungan acuan parameter dan periode data yang digunakan dalam penyusunan formula harga dasar.

Di samping itu, BPK juga meminta Pertamina untuk memperhitungkan stok awal, stok akhir, dan losses yang terjadi dalam perhitungan volume penyaluran JBKP.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, sampai saat ini instansinya belum menerima laporan yang lengkap terkait hal itu.

"Sampai kemarin kami belum terima laporannya," jelas Dadan.

Pertagas Tak Luput

Tak hanya penyaluran BBM, BPK juga menyoroti potensi kehilangan pendapatan PT Pertamina Gas, yang merupakan anak usaha Pertamina. Sebab, BPK menilai, sejumlah proyek yang dikerjakan masih kurang efektif.

Pertagas dinilai mengalami potensi kehilangan pendapatan senilai US$16,57 juta dan mengalami piutang macet senilai US$11,86 juta akibat penyusunan nominasi, skema niaga, dan operasi pemanfaatan gas Pondok Tengah yang tidak mempertimbangkan kondisi operasi serta pengalihan alokasi gas untuk kebutuhan compressed natural gas (CNG) kepada PT Mutiara Energy (PT ME).

Tak hanya itu, BPK juga menyoroti pengerjaan proyek pipa Belawan yang menghubungkan Kawasan Industri Medan (KIM) dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).


Sebab, dari proyek senilai US$59,58 juta itu, Pertagas diperkirakan menanggung beban finansial dalam jangka panjang lantaran proyeknya belum juga rampung.

"Pertama, terdapat item pekerjaan commisioning yang tidak bisa dilaksanakan karena sampai saat ini belum ada konsumen yang bisa menerima gas dan dalam hal ini bukan menjadi tanggung jawab rekanan," kata Yudi.

Kedua, ia menilai terdapat proses amendemen kontrak terkait dengan pekerjaan tambah kurang yang belum selesai. Sehingga, manajemen belum bisa melakukan kalkulasi akhir terkait dengan penyelesaian pekerjaan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER