PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dikhawatirkan menjadi biang keladi pembengkakan desifit anggaran penerimaan dan belanja negara lebih dari batas 3 persen.
Mantan Sekretaris Kementeriaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu menilai kekhawatiran terbesar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terhadap PLN ialah adanya risiko gagal bayar yang akan mengempiskan 'kantong' pemerintah. Apalagi, dia menyebutkan, PLN memiliki kewajiban pembayaran utang yang jatuh tempo pada November 2017 mendatang.
Sebagian besar surat utang PLN itu diterbitkan atas jaminan langsung pemerintah sehingga kreditur mengalirkan dana segar dengan mudah. Secara eksplisit disebutkan, pemerintah menjamin stabilitas dan keuntungan PLN secara wajar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau gagal bayar, maka pemerintah mengambil alih tanggung jawab dan otomatis akan membebani APBN," tuturnya kepada CNNIndonesia.com di Jakartam Kamis(5/10).
Sampai saat ini, defisit anggaran negara tercatat sudah mencapai 2,72 persen. Pemerintah hanya memiliki ruang sempit yakni 0,28 persen agar tak melanggar aturan batas defisit anggaran 3 persen.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Sri Mulyani mengirimkan surat kepada Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Ignatius Jonan atas adanya potensi gagal bayar utang PLN di masa depan.
Pihaknya melihat rasio utang terhadap pendapatan (Debt Service Ratio/DSR) PLN tidak sesuai dengan perjanjian utang (covenant).
Secara rinci dijelaskan, PLN memiliki utang dengan covenant berbasis DSR sebesar Rp40 triliun. Sedangkan sebanyak 25 persen dari utang tersebut dijamin oleh pemerintah.
Protes SP PLN WajarMenanggapi aksi protes yang dilakukan Serikat Pekerja PLN terhadap kebijakan Menteri BUMN untuk mengalihkan aset PLN kepada swasta, Said memandang netral.
Kekhawatiran para pekerja dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Pasalnya, sambung dia, peralihan aset ke swasta melalui mekanisme sekuritisasi akan menurunkan nilai aset sebenarnya.
"sekuritisasi bisa diistilahkan meraup dana segar di muka. Kasarnya kalau menggadaikan aset itu berarti orang susah dan nilai gadainya ditakutkan murah," paparnya.
Terlebih, dia menilai aset PLN yang dijaminkan untuk sekuritisasi tak memiliki nilai dagang (tradable) bagi investor.
"Asetnya memang besar, berupa tiang listrik, tanah tapak tiang, dan kabel, tapi tak ada nilai dagangnya kecuali jika kalau digunakan PLN sebagai pemilik wewenang," ungkapnya.
Solusinya, lanjut Said, PLN memang seharusnya mengalihkan sebagian proyek pembangunan pembangkit listrik kepada pihak swasta, dan berfokus membangun transmisi yang dibutuhkan bagi pemanfaatan pembangkit tersebut.
Perusahaan juga perlu mempercepat penjualan listrik di wilayah potensial dan bermargin tinggi seperti Jawa, demi meningkatkan pendapatan perseroan.
"PLN bisa melobi perusahaan besar untuk menggunakan jasa PLN, karena masih banyak gedung yang pakai genset, industri juga. Potensi itu signifikan," paparnya.