Jakarta, CNN Indonesia -- Serikat Pekerja PT PLN (Persero) menilai tawaran Menteri Keuangan Sri Mulyani lebih tepat terkait dengan upaya penurunan beban keuangan perseroan tersebut dalam proyek elektrifikasi.
Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda mengacu pada Menteri ESDM Jonan yang mengutarakan bahwa porsi PLN sebesar 10 ribu Megawatt (MW) dalam proyek raksasa 35 ribu MW akan ditinjau kembali demi menyehatkan keuangan PLN.
Sementara itu, di sisi lain, ia menyebut Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan bahwa aset pembangkit PLN yang efisien akan diserahkan ke pihak swasta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, dia menuturkan aset PLN merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, kata Jumadis, hal itu akan melanggar UUD 1945 pasal 33 ayat 2 jika dijual ke pihak swasta.
Apalagi, dengan sebagian besar pengelolaan pembangkit ke pihak swasta, keuangan PLN bisa semakin kronis.
Hal itu terkait dengan klausul perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement) antara PLN dan pengembang listrik swasta, dengan mekanisme
take or pay. Artinya, jika penyerapan listrik PLN tidak sesuai dengan kemampuan pembangkitnya, maka PLN dikenakan denda.
Jika ini tak terpenuhi, lanjutnya, maka kondisi keuangan PLN bisa lebih sulit lagi. Apalagi, ia mengklaim denda
take or pay PLN bisa mencapai Rp140 triliun per tahun.
Swastanisasi Bukan Solusi“Untuk melindungi PLN dan kelistrikan nasional, maka SP PLN harus kembali bersuara agar jangan semakin salah arah kebijakan yang diambil,” ujar Jumadis ketika dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Kamis (5/10).
Dia melanjutkan, solusi yang paling tepat untuk menyelamatkan keuangan PLN adalah menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit. SP PLN menilai anjuran Menteri Keuangan di dalam surat PLN yang dikirimkan baru-baru ini relatif tepat.
Apalagi, dari modifikasi bauran energi, sebenarnya PLN bisa menghemat Rp40 triliun. Selain itu, penghematan juga bisa dilakukan dengan mengefisienkan pemeliharaan pembangkit.
“Jadi upaya swastanisasi yang diusung oleh Menteri ESDM dan Menteri BUMN bukanlah solusi. Justru, bila itu yang dilakukan, kami khawatir kondisi PLN lebih terpuruk lagi,” papar Jumadis.
Sebelumnya, di dalam surat bernomor S-781/MK.08/2017 yang diterbitkan 19 September 2017 silam, Sri Mulyani menyoroti potensi gagal bayar PLN akibat proyeksi utang jatuh tempo yang semakin meningkat dan diiringi dengan performa keuangan yang melemah.