Jokowi Didesak Setop PLTU Batu Bara Proyek 35 Ribu MW

CNN Indonesia
Senin, 09 Okt 2017 19:15 WIB
Koalisi Break Free from Coal menilai, selain membebani keuangan PLN, PLTU Batu Bara juga berdampak negatif pada lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Koalisi Break Free from Coal menilai, selain membebani keuangan PLN, PLTU Batu Bara juga berdampak negatif pada lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Break Free from Coal mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetop proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berasal energi batu bara (PLTU-B) dalam revisi target proyek 35 ribu megawatt (MW).

Koalisi gabungan dari empat organisasi nirlaba, yakni Walhi, Greenpeace Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan 350.org Indonesia tersebut menilai, selain membebani keuangan PT PLN (Persero), PLTU-B juga berdampak negatif pada lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.

“Surat dari Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai PLN yang bocor ke publik beberapa pekan lalu menunjukkan ambisi perluasan ekspansi PLTU-B di bawah payung program 35.000 MW dapat membahayakan keuangan PLN dan negara,” ujar Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Senin (9/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Ia mengungkapkan, proyek pembangunan PLTU-B berkapasitas besar tidak diperlukan, mengingat saat ini persediaan listrik sudah berlebih (over supply), terutama di Pulau Jawa dan Bali.

Berdasarkan data PLN, kapasitas pembangkit listrik Indonesia tahun lalu berkisar 59.600 MW dan tahun ini diperkirakan meningkat menjadi 64,1 MW. Kapasitas cadangan berada di level 30 persen dari persediaan sesuai dengan kebutuhan negara berkembang.

Jika proyek 35 ribu MW yang sebagian besar merupakan PLTU-B dipaksakan, keuangan PLN akan semakin terbebani, mengingat ada komitmen pembayaran yang mengikat PLN. Ujung-ujungnya, jika PLN kolaps, negara yang akan menanggung. 


Laporan Institute for Energy Economics and Financial Anaysis (IEEFA) 2017 menyebut, potensi kerugian PLN akibat pembayaran kelebihan kapasitas bisa mencapai US$3,16 miliar untuk setiap gigawatt dari kapasitas terpasang yang tak terpakai di sistem pembangkitan Jawa-Bali.

Kerugian itu diperoleh dari Perjanjian Jual Beli (PJBL) PLN dengan produsen listrk swasta (IPP) yang menjamin pembayaran atas minimal 80 persen dari kapasitas IPP selama 25 tahun, meskipun listrik tidak terserap.

Diperkirakan, setelah proyek 35 ribu MW rampung, kapasitas listrik yang tidak terserap mencapai 5.163 MW. Artinya, total potensi kerugian yang ditanggung PLN mencapai US$16,2 miliar untuk kapasitas yang terbuang.


Belum lagi, pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi di Indonesia ditopang dengan berbagai bentuk subsidi yang mencerminkan beban fiskal negara. Dalam laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) yang menemukan bahwa subsidi batubara di tahun 2015 mencapai US$ 644 miliar.

Dari sisi kesehatan dan lingkungan, PLTU-B akan meningkatkan tingkat polusi udara dan mengganggu kesehatan.

"Studi yang pernah kami lakukan, menghitung biaya dari dampak kesehatan yang diakibatkan oleh PLTU-B, yang apabila beroperasi dengan total 45.365 MW adalah US$ 26,7 miliar atau setara dengan Rp351 trilliun untuk setiap tahun operasi PLTU-B,” terang Hindun.


Kemudian, berdasarkan studi gabungan periset dari Universitas Harvard, ia melanjutkan, polusi dari pembakaran batu bara akan mengakibatkan sekitar 24 ribu kematian dini pada orang dewasa per tahun di Indonesia.

Data tersebut mayoritas berasal dari stroke dan penyakit jantung iskemik yang merupakan dampak pada tingkat yang lebih rendah dari kanker paru-paru dan tenggorokan, penyakit paru dan penyakit kardiovaskular lainnya.

Pemanfaatan batu bara melalui PLTU-B juga akan meningkatkan perluasan pembongkaran batu bara melalui penambangan. Terdapat 166,2 juta ton batubara yang dibutuhkan untuk memenuhi 57 persen dari kebutuhan proyek 35 ribu MW. Hal ini akan mengancam lahan-lahan produktif lain.


Kajian Hungry Coal oleh Waterkeeper Alliance dan JATAM mengungkap bahwa produksi beras nasional akan turun sebanyak 7,7 juta ton beras akibat pengalihan fungsi lahan pertanian produktif menjadi tambang batubara dan pencemaran air akibat tambang batubara yang dibuka di dekat lahan pertanian.

Hal ini menyebabkan Indonesia harus bergantung pada impor beras 6 tahun lebih cepat daripada yang seharusnya.

Karenanya, Koalisi Break Free from Coal secara khusus meminta Presiden Jokowi untuk menginstruksikan kepada Kementerian ESDM dan PLN untuk mendorong penggunaan lebih banyak energi terbarukan (EBT) seperti tenaga surya fotovoltaik, air, angin, panas bumi serta biomassa. 

Jenis energi terbarukan disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya di masing-masing daerah. Hal ini telah dilakukan oleh negara berkembang lain, seperti China dan India.

Selain itu, memperbanyak penggunaan EBT juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Kepakatan Paris dua tahun lalu untuk menurunkan emisi karbon dan bersama-sama menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius.

Hindun mengingatkan, biaya teknologi energi terbarukan secara global menurun dengan pesat, sedangkan biaya PLTU-B akan meningkat terus mengingat harga bahan bakar batu bara yang terus meningkat.

Guna mendorong penggunaan energi terbarukan, pemerintah perlu lebih konsisten dalam membuat aturan, sehingga memberikan kepastian kepada produsen EBT yang ingin masuk. 

Selain itu, pemerintah juga bisa mengalihkan anggaran yang digunakan untuk menopang PLTU-B menjadi insentif pembangunan proyek pembangkit listrik EBT.

“Kami menyambut keputusan presiden untuk memangkas target 35.000 MW, namun kami ingin ingatkan bahwa program yang berjalan pun harus dirombak total. PLTU-B mengakibatkan dampak nyata terhadap kesehatan, sosial ekonomi dan lingkungan. Pada akhirnya biaya harus ditanggung masyarakat dan negara,” pungkas Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Energi WALHI Indonesia.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER