Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia mengaku teknologi finansial alias
financial technology akan sangat diandalkan dalam mencapai target inklusi keuangan yang dipatok Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2019 mendatang sebesar 75 persen.
Direktur Program Elektronifikasi dan Inklusi Keuangan BI Punky Purnomo Wibowo menuturkan pada 2011, angka inklusi keuangan di Tanah Air baru mencapai 20 persen. Pihaknya dengan lembaga lain dan pemerintah kemudian mendorong angka inklusi keuangan menjadi 36 persen pada 2014.
"Presiden Jokowi menargetkan inklusi keuangan 75 persen di 2019. Kita bisa, karena kita
relay dengan
fintech. Inklusi keuangan bisa tercapai dengan
fintech," ujar Punky di Jakarta, Selasa (10/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkat perkembangan
fintech, Punky menyebut angka inklusi keuangan hingga akhir tahun lalu bahkan sudah hampir mencapai 70 persen.
Fintech pun menurut Punky, mampu memberikan dorongan bagi pertumbuhan makro ekonomi. Namun, di sisi lain,
fintech juga memiliki sejumlah risiko, seperti halnya lembaga keuangan lainnya. Risiko tersebut antara lain ketidakcocokan likuiditas
(liquidity missmatch), ketidakcocokan jangka waktu pinjaman
(maturity missmatch) dan serangan siber
(cyber attack).
Untuk itu, menurut dia, perkembangan
fintech yang cukup pesat harus dibarengi dengan regulasi yang kondusif.
"Umumnya BI sangat
prudent dengan
financial stability. Perkembangan
fintech, konsekuensinya harus dibuat peraturan yang mendorong, tetapi
prudent, dan menciptakan iklim bisnis yang kondusif," jelas dia.
Saat ini, menurut Punky, pihaknya telah menerbitkan aturan terkait dengan
fintech dan telah memiliki
regulatory sandbox guna mengamati perkembangan bisnis industri baru tersebut.
"Fintech ini memiliki potensi yang sangat besar. Bayang kan saja, penempatan dana bagi (uang elektronik) yang teregistrasi itu maksimal Rp10 juta, kalau ada 3 ribu orang berarti dananya bisa mencapai Rp3 triliun. Ini tentu harus diatur perlindungan konsumennya," ungkap dia.
Di sisi lain, berdasarkan hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akses layanan (inklusi) keuangan hingga akhir tahun lalu memang telah mencapai 67,8 persen. Namun, sayangnya, pemahaman (literasi) keuangan baru mencapai sekitar 29,7 persen.