Antisipasi Ekonomi Global, BI Tahan Bunga Acuan 4,25 Persen

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Kamis, 19 Okt 2017 18:49 WIB
Bank Indonesia (BI) memilih menahan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) di angka 4,25 persen pada Oktober ini.
Bank Indonesia (BI) memilih menahan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) di angka 4,25 persen pada Oktober ini. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan).
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) memilih menahan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) di angka 4,25 persen pada Oktober ini, setelah dua bulan berturut-turut menurunkan sebanyak 50 basis poin (bps).

Asisten Gubernur sekaligus Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo mengatakan, hal ini dilakukan sebagai antisipasi perekonomian dunia dan domestik, meski saat ini memperlihatkan perbaikan.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) memutuskan untuk menahan BI 7DRR Rate di angka 4,25 persen, berlaku efektif sejak 20 Oktober 2017," ujar Dody dalam konferensi pers hasil RDG BI, Kamis (19/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Selain itu, hasil RDG BI juga menurunkan suku bunga deposit facility di level 3,5 persen dan suku bunga lending facility di level 5,0 persen.

Dody bilang, perekonomian Indonesia tengah melanjutkan perbaikan, terlihat dari beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan China.

Ekonomi China diperkirakan lebih tinggi karena ada peningkatan ekspor dan perbaikan di sektor keuangannya. Lalu, ekonomi AS juga diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya.

Di sisi lain, ekonomi India mengalami penurunan sesuai dengan revisi ke bawah akibat dampak negatif dari demotisasi dan pajak barang dan jasa (GST) negara tersebut.

Kendati perekonomian dunia dianggap membaik, namun bank sentral menginsikasi masih ada sejumlah risiko dari perekonomian global, khususnya dari Negeri Paman Sam.

Sebab, ada rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve pada Desember mendatang dan normalisasi neraca pembayaran The Fed mulai bulan depan.


"Selain itu, ada konflik geopolitik dari Spanyol dan beberapa negara di Eropa. Sedangkan dari Asia, berasal dari Semenanjung Korea," terang Dody.

Sementara dari dalam negeri, memang mayoritas sektor ekonomi menunjukkan perbaikan dari kuartal sebelumnya, terlihat dari dukungan ekspansi fiskal pemerintah dan pelonggaran moneter BI.

"Investasi diperkirakan lebih baik, terlihat dari investasi bangunan dan non bangunan yang membaik," katanya.

Begitu pula dengan ekspor yang kembali meningkat, khususnya untuk ekspor komoditas batubara, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), nikel, dan timah. Bahkan, tercatat surplus perdagangan Januari-September 2017 mencapai US$10,87 miliar atau lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu US$6,41 miliar.

Lalu, inflasi September 0,13 persen secara bulanan (month-to-month/mtm). Sedangkan inflasi Januari-September 2017 di angka 2,66 persen secara tahun kalender (year-to-date/ytd) dan secara tahunan (year-to-year/yoy) di angka 3,72 persen.

Sementara itu, nilai tukar (kurs) rupiah di kisaran Rp13.307 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir September lalu. "BI akan tetap melakukan stabilitas nilai tukar," katanya.

Sebelumnya, ekonom dari PT Bank Permata, Josua Pardede memperkirakan bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya lantaran mempertimbangkan risiko peningkatan inflasi jelang tutup tahun.

Namun, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI justru melihat bahwa ruang penurunan suku bunga acuan BI masih terbuka. Sebab, suku bunga acuan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara (Asean) lebih rendah.

"Idealnya masih bisa turun karena kita di Asia Tenggara masih relatif tinggi," ujar Direktur Utama BRI Suprajarto.

(lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER